Minggu, 16 Mei 2010

Bermuamalah dengan Ahlu Bid'ah

Dewasa ini kita dihadapkan kepada permasalahan yang cukup serius. Yaitu adanya sebagian orang yang berlebihan dalam mensiapi ahlul bid’ah yang ghoiru mukaffiroh, dan orang yang terlalu meremehkan dalam mensikapi dan bermuamalah dengan pelaku bid’ah mukaffiroh.
Maka untuk mengetahui batas-batas dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah kita perlu mengetahui terlebih dahulu pembagian bid’ah tersebut.
Pembagian bid’ah :
1. Bid’ah mukaffiroh (yang bisa menjadikan pelakunya menjadi kafir) :
Ciri-cirinya adalah : Orang yang mengingkari urusan yang telah disepakati ke-mutawatirannya di dalam syare’at. Seperti menghalalkan yang haram atau menghalalkan yang haram, atau berkeyakinan dengan sesuatu yang tidak pantas bagi Allah Rosul dan kitabnya dari urusan nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), karena itu semua merupakan tindakan mendustakan kitab dan dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad seperti bid’ahnya Jahmiyah didalam mengingkari shifat Allah Ta’ala dan perkataan mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. (ma’arijul qobul : 3/1228).
Permasalahan penghalalan dan pengharaman adalah hak khusus bagi Allah maka barang siapa menghalalkan dan mengharamkan selain yang datang dari Allah dan Rosulnya maka ia telah membuat suatu syare’at atau undang-undang dan barangsiapa yang membuat syare’at maka ia telah menuhankan dirinya. (al-wala’ wa al-bara’ fi al-islam : 141 ).
(( ألا له الخلق والأمر ))
“ingatlah ! menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”
Dan untuk menetapkan kekafiran atas orang-orang semacam ini harus ada iqomatul hujjah atas mereka terlabih dahulu. (lihat ma’arij al-qobul 3/1229).
2. Bid’ah ghoiru mukaffiroh (yang tidak menjadikan pelakunya kafir).
Yaitu yang tidak mendustakan kitab dan apa yang dibawa oleh Rosulullah, seperti bid’ahnya seperti bid’ahnya ruhaniyah yang diingkari oleh para pemuka sahabat dan tidak dikafirkan dan mereka tidak mencabut bai’atnya seperti mengakhirkan sebagian waktu sholat atau mendahulukan khutbah sebelum sholat ied (karena takut jama’ahnya bubar)… (ma’arij al-qobul : 3/1229).
SEMUA BID’AH TERCELA
Rosulullah bersabda :
أما بعد فإن أصدق الحديث كناب الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم و شر الأمور محدثاتها و كل بدعة ضلالة(رواه البخاري) و زاد النسائي : و كل ضلالة في النار

BERMU’AMALAH DENGAN AHLU BID’AH
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan prinsip di dalam wala’ dan bara’ :
“…seorang mukmin harus engkau ambil sebagai wali walaupun dia mendhalimi dan memusuhimu, dan orang kafir harus engkau musuhi walaupun dia memberi sesuatu dan berbuat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab supaya din itu hanya bagi Allah, dan supaya kecintaan hanya untuk para wali-Nya dan permusuhan untuk musuh-Nya…..Dan apabila terkumpul pada seseorang ; kebaikan dan kejelekan, dosa dan ketaatan, maksiat dan sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan perwalian dan ganjaran sesuai dengan kebaikannya, dan berhak mendapatkan permusuhan dan balasan sesuai dengan kejelekannya….” (majmu’ fatawa : 28/208-209).
Adapun kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip di dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal jama’ah sebagaimana yang dipraktekkan oleh salaful ummah adalah sebagai berikut :
1. Ikhlash karena Allah Ta’ala.
Bermu’amalah dengan ahli bid’ah –bagaimana saja keadaan mereka- harus didasarkan pada niat ikhlas lillahi ta’ala, bukan karena dorongan nafsu dan dorongan dunia. Allah ta’ala berfirman :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
2. Selalu beramar ma’ruf dan nahi mungkar dan menasehatinya kepada kebenaran dan menyampaikan hujjah dan memahamkannya, dan menunjukkannya dengan kebaikan.
Kita perlu mencermati fatwa syaikhul islam Ibnu Taimiyah di dalam menerangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan sebagian amal yang masyru’ dan mencampurnya dengan bid’ah. Beliau berkata : “….maka anda dalam hal ini harus menggunakan dua adab :
a. Engkau senantiasa rakus untuk berpegang teguh dengan sunnah dhohir maupun bathin, dan nyatakan yang ma’ruf itu ma’ruf dan yang mungkar itu mungkar.
b. Hendaklah engkau mengajak manusia kepada as-sunnah sesuai kemampuan.” (iqtidho’ shirot al-mustaqim : 2/216).
3. Selalu adil di dalam merealisasikan loyalitas dan permusuhan dengan ahli bid’ah.
Karena kadang di dalam diri seorang pelaku bid’ah terkumpul sebab-sebab perwalian dan permusuhan dan di dalam dirinya ada kebaikan dan kejelekan, kebaikan dan kedurhakaan, ketaatan dan kemaksiyatan. Maka orang semacam ini dicintai pada satu sisi dan dibenci pada sisi yang lain. ( lihat al-muwalah wa al-mu’adah fi as-syari’ah al-islamiyah ; 2/408).
4. Memperhatikan maslahat dan mafasid dari sela-sela bermu’amalah dengan ahli bid’ah.
Seorang yang bermu’amalah dengan ahli bid’ah harus memperhatikan dan menimbang antara maslahat dan madhorot di dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah. Berkata Ibnu Taimiyah : “…apabila dihadapkan pada maslahat dan madhorot maka mana yang lebih rojih dari keduanya. Maka apabila terdapat beberapa maslahat maka harus merealisasikan yang paling maslahat walaupun meninggalkan yang lain yang lebih rendah, dan apabila hanya terdapat beberapa maslahat maka harus menolak mafsadah yang lebih besar walaupun harus mengambil mafsadah yang lebih ringan dari keduanya.” (lihat majmu’ fatawa : 28/126, 129)
5. memperhatikan keada’an pelaku bid’ah tersebut, ia mengajak kepada bid’ahnya atau tidak, menampakkan bid’ahnya atau tidak, dan apakah ia bodoh dan taqlid atau karena ta’wil atau tidak.
Telah kita ketahui bahwa tingkatan ahli bid’ah itu tidah sama, maka menghukumi mereka pun tidak hanya satu tetapi bermacam-macam. Maka tidak boleh menyamakan di dalam bermu’amalah dengan mereka dan menetapkan hukum antara yang mengajak kepada bid’ahnya dan yang diam, dan yang menampakkan bid’ahnya kepada semua manusia dan yang menyembunyikannya. Dan tidak sama antara yang orang bodoh yang taqlid yang tidak mempunyai pandangan dan kemampuan untuk mengetahui kebenaran dan mencari petunjuk kepada yang benar. (lihat I’lam al-muwaqi’in : 3/17).
6. memperhatikan derajat bid’ah dan urutan/tingkatannya.
Bid’ah seperti kita ketahui tidak hanya satu tingkatan. Ada bid’ah yang mengeluarkan pelakunya dari millah, dan ada yang setingkat kabair (dosa-dosa besar) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah, dan ada yang shoghoir (dosa-dosa kecil). Maka derajat di dalam mengingkari dan memberi hukuman berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. (lihat I’lam al-muwaqi’in : 2/344).
7. Harus membedakan antara menghukumi secara muthlaq dan menghukumi secara ta’yin.
Kadang perbuatan bid’ah mubtadi’ sampai pada tingkat kafir atau fasiq dan mereka disebut seperti itu. Namun di dalam menunjuk seseorang dengan innisialnya atau suatu kelompok dengan namanya memerlukan keadilan dan kebersihan dan betul-betul dalil yang kuat. (lihat majmu’ fatawa 12/487-488).
8. Hati-hati dan tidak tergesa-gesa di dalam mengkafirkan atau memfasiq-kan perorangan ahli bid’ah.
Beginilah Ahlus-sunnah mereka memegangi prinsip ini, mereka hati-hati dari terlalu cepat mengkafirkan atau memfasiqkan personal ahli bid’ah hingga ditegakkan hujjah dan hilang subhat/kesamaran khususnya apabila ahli bid’ah menakwilkan dengan penakwilan yang membolehkan amalnya. (ma’alim al-inthilaq al-kubro: 123).
CONTOH-CONTOH MU’AMALAH DENGAN AHLI BID’AH
1. Bekerja sama dengan ahli bid’ah.
Yang dimaksud di sini adalah ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.(lihat rinciannya di haqiqat al-bid’ah wa ahkamuha 2/374).
Bekerja sama dengan mereka didasarkan pada asaa kemaslahatan dien dan mendirikan kewajiban syar’iyah yang tidak mampu di laksanakan dengan selain ahli bid’ah atau untuk menghilangkan mafsadat yang besar dari mafsadat-mafsadat yang disandang oleh ahli bid’ah dari perkara-perkara baru.
2. Meminta bantuan ahli bid’ah di dalam memerangi orang kafir.
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ mengenai hal ini :
a. boleh. Merupakan kata kalangan hanafiyah yang nampak: “Sesungguhnya khowarij apabila mereka memerangi orang kafir bersama orang-orang yang adil mereka berhak mendapat ghanimah seperti hak kaum muslimin yang lain”. (lihat sarh fathul qodir 6/109, 1/100, al-mabsuth 10/134, al-mahalli 12/525).
b. Tidak boleh, ini merupakan perkataan hanabilah.
Disebutkan di dalam kitab kassyaful qona’ : “dan seorang muslim diharamkan untuk meminta bantuan dengan ahli ahwa’ seperti rofidhoh di dalam suatu urusan dari urusan-urusan kaum muslimin…” (kassyaful qona’: 3/63).
Syaikh Abdullah At-Thuraiqy dalam mendudukkan masalah ini abeliau berkata : “ahli bid’ah tidak lepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. seorang atau perseorangan yang sedikit jumlahnya atau jama’ah.
b. Ada kalanya sebagai imam atau muqollid di dalam bid’ah.
c. Bid’ahnya kadang menjadikannya kafir kadang tidak.
Maka hukumnya kiranya berbeda antara satu keadaan dengan keadaan yang lain.

Pensucian Diri dari berbagai dosa

TAZKIYATIN NAFS


I. MUQODDIMAH

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin. Segala puji bagi Allah swt. Dialah yang menurunkan ketenangan dan ketentraman pada hati orang-orang yang beriman. Dialah yang telah mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya, mensucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Kami bersaksi bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kami bersaksi bahwa Muhammad saw adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat serta hidayat-Nya kepada beliau beserta keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya sampai hari kiamat.
Diantara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad saw, adalah untuk memberi bimbingan kepada umat manusia dalam rangka tazkiyatun nafs (membentuk jiwa yang suci), sebagaimana firman-Nya :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ {2}
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rosul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jum’ah : 2)

Karenanya, wajib bagi setiap orang yang mengharapkan pahala dari Allah dan kebahagiaan abadi di hari kemudian untuk memberikan perhatian secara khusus bagaimana agar ia mampu mensucikan diri.
Karena keberuntungan dan kesuksesan seseorang itu dapat diraih tergantung bagaimana ia mau mensucikan dirinya (tazkiyatun nafs), sebagaimana firman-Nya :


قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya telah beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya.”
(Qs. As Syams : 9)

II. PENGERTIAN TAZKIYATUN NAFS

- Tazkiyah secara bahasa adalah masdar dari kata ( زَكَّى ) yang berarti ( طَهَّرَ ) yaitu , mensucikan.
- Berkata Qotadah dalam menafsirkan ayat : قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya telah beruntunglah orang yang melaksanakan amal kebaikan dan mensucikan nafs (jiwanya) dengan taat kepada Allah”
- Ibnu Katsir dalam tafsir Al Qur’anul Al ‘Adhim menafsirkan ayat
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
dengan perkataan :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّى نَفْسَهُ بِطَاعَةِ اللهِ وَ طَهَّرَهَا مِنَ الأَخْلاقِ الدَّنِيْئَةِ وَ الرَّذَائِلِِ
“Telah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan taat kepada Allah dan membersihkannya dari akhlaq yang rendah dan hina.
Agar kita bisa membersihkan nafs (jiwa) kita dari segala macam kekotoran maka terlebih dahulu kita akan membahas masalah nafs (jiwa).

III. PEMBAHASAN MASALAH NAFS

Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah menyebutkan bahwa manusia itu terbagi menjadi dua golongan :
1. Golongan yang terkalahkan oleh nafsunya, sehingga setiap perilakunya dikendalikan oleh nafsunya.
2. Golongan yang mampu mengekang dan mengalahkan nafsunya sehingga nafsu tersebut tunduk pada perintahnya.

Sebagian Arifin (orang-orang yang berma’rifah kepada Allah) menyebutkan :
“Barang siapa yang berhasil mengalahkan nafsunya maka beruntunglah ia, sebaliknya bagi yang terkalahkan oleh nafsunya maka merugi dan hancurlah ia.”
Allah swt telah menyebutkan dalam firman-Nya :

فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى {41}
“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka nerakalah tempat tinggalnya. Sedangkan mereka yang takut pada kebesaran Rabb-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggalnya.” (Qs. An Nazi’at : 37 – 41)

A. JENIS -JENIS NAFSU
Allah swt. telah menjelaskan dalam Al Qur’an tentang jenis-jenis nafsu yang dimiliki manusia, yaitu :
- Nafsu Muthmainah
- Nafsu Lawwamah
- Nafsu Amarroh bis Su’

1. Nafsu Muthmainnah
Yaitu nafsu yang tenang bersama Allah, tentram ketika mengingat-Nya dan selalu merindukan-Nya.
Dialah nafs yang disaat ajal menjelang, akan dikatakan padanya :
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ {27} ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً {28} فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي {29} وَادْخُلِي جَنَّتِي {30}
“Hai nafs (jiwa) yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs. Al-Fajr : 27-30)

- Ibnu Abbas r.a. berkata : Muthmainnah artinya yang membenarkan.
- Qotadah berpendapat : Hanyalah orang yang beriman yang jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan Allah.
- Ibnu Kisan mengatakan : yaitu nafs yang tenang karena mengingat Allah.
Orang yang berjiwa Muthmainnah ini akan tercermin pada perilaku dan raut mukanya. Ia tampak tenang, berseri, penuh keceriaan dan bersabar diri serta menerima setiap cobaan dari Allah dengan lapang dada dan tawakkal. Ia tidak pernah gundah, gelisah dan putus asa bila tertimpa musibah dan tidak juga terlalu bersuka cita bila mendapatkan nikmat dari Allah. Karena ia yakin bahwa semuanya sudah ditaqdirkan oleh Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ {11}
“Tidak ada satu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya ia akan memberi petunjuk pada hatinya.” (Qs. At Taghobun : 11)

2. Nafsu Lawwamah
Yaitu nafsu yang tidak pernah konsisten atau stabil di atas satu keadaan. Ia seringkali berubah (labil) baik dalam pendirian maupun perilaku. Antara ingat dan lalai, ridho dan marah, cinta dan benci serta taat dan beribadah kepada Allah atau bahkan malah berpaling dari-Nya.
Sebagian ulama berpendapat : bahwa nafsu lawwamah adalah nafs-nya orang-orang yang beriman.
- Al Hasan Al Bashri berkata : “Sesungguhnya orang mukmin mustahil bila tidak pernah sekali saja mencela dirinya. Ia akan berkata pada nafs-nya: Maukah kamu berbuat begini? Mengapa kamu berbuat seperti itu? Seharusnya kamu berbuat begini! Atau ucapan sejenisnya.
- Muqotil menyebutkan : “Ia adalah nafs yang mencela dirinya pada hari kiamat terhadap apa yang telah dilakukannya yang melampau batas dari urusan Allah di muka bumi ini.”
- Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Semua pendapat di atas adalah benar.”

3. Nafs Ammaroh bis Suu’
Yaitu nafs yang tercela, sebab ia memiliki watak selalu mengajak ke arah kedholiman, karena memang demikianlah tabi’atnya.
Tidak seorangpun yang terlepas dari watak buruk nafs ini kecuali yang mendapat rahmat Allah swt.
وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَازَكَى مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمُُ {21}
“Sekiranya tidak karena Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. An-Nur : 21)

Tidak seorang pun yang terlepas dari watak buruk nafsu ini, kecuali yang mendapatkan rahmat Allah swt.
Berkata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashor Minhajul Qoshidin : “Ketahuilah bahwa musuh bebuyutanmu adalah nafs kamu yang ada di sisimu. Dan telah diciptakan nafs yang menyeru kepada kejahatan, cenderung kepada kejelekan. Engkau telah diperintahkan untuk menghukuminya, mensucikannya dan menceraikannya dari sumber-sumbernya.”

Nafsu Ammaroh ini jika ada pada diri seseorang, maka bisa dipastikan bahwa segala perilaku dan tindakannya akan menyeleweng dari syar’i, maka akhlaqnya pun tercela dimata orang. Nafsu Ammarah selalu menjadi penghalang bagi nafsu Muthmainnah untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Setiap kali nafsu Muthmainnah berniat untuk berbuat baik, maka nafsu Ammarah datang menghadirkan impian-impian buruk akibat dari perbuatan itu. Misalnya ia memberikan ilustrasi-ilustrasi dari akibat berangkat berjihad, yaitu bahwa ia akan terbunuh, istrinya akan dinikahi orang lain, anak-anaknya menjadi yatim dan hartanya akan dibagi oleh ahli warisnya dan sebagainya. Maka hendaklah kita selalu memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari nafs tersebut.
Rasulullah saw. sendiri mengajarkan kepada kita dalam setiap khutbah untuk membaca :
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah swt, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Dan kita mohon perlindungan Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu dan (akibat ) buruk dari perilaku-perilaku kita.” (HR.Abu Dawud dan Ibnu Majah, shohih.)

B. HUBUNGAN TAZKIYATUN NAFS DENGAN AKHLAQ

Perlu kita ketahui bahwa gerak jiwa dan hati nurani adalah inspirasi bagi hati jasmani yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk sikap dan watak manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
أَلا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَ هِىَ الْقَلْبُ. رواه البخارى و مسلم
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Memang segala sifat yang dimiliki oleh jiwa akan meluap keluar dan bekas-bekasnya itu tentu tampak sekali diantara anggota lahiriyah, sehingga anggota-anggota tadi tidak akan bergerak sama sekali melainkan sesuai menurut irodah jiwanya. Ini sudah pasti dan tidak bisa diingkari lagi.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya “Igotsatul Lahfan” : Hati adalah raja bagi semua anggota badan. Seluruh anggota badan akan melaksanakan segala perintahnya dan menerima apa saja yang diberikannya. Tidak ada satu perbuatanpun yang bisa terlaksana dengan benar, kecuali jika muncul dari kehendak dan niat hati. Hatilah yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Maka karena itulah memperbaiki dan meluruskan hati merupakan perhatian utama yang dilakukan orang-orang yang menempuh jalan menuju ridlha Allah.
Lebih jelasnya Abdurrahman Habanakah Al Maidani menyebutkan : Secara tabi’at kapan seseorang itu suci jiwanya, maka akan luruslah akhlaq (perilakunya) baik yang dhohir maupun yang batin.
Meskipun akhlaq karimah itu kadang memang sudah merupakan watak asli (fithrah) seseorang. Namun sebenarnya hal itu dapat diperoleh dan diusahakan dengan jalan latihan, yaitu dengan cara membiasakan untuk melakukan hal tersebut atau dengan jalan pergaulan, yaitu dengan menyaksikan dan berkawan dengan orang yang sholih.
Berikut akan kami uraikan beberapa bentuk akhlaqul mahmudah yang merupakan cermin dari sucinya jiwa. Menghiasi diri dengan akhlaq yang terpuji dan membersihkannya dari akhlaq yang tercela adalah merupakan usaha untuk tazkiyatun nafs (mensucikan jiwa), sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Telah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan taat kepada Allah dan membersihkannya dari akhlaq yang rendah dan hina.”
Diantara akhlaq mahmudah tersebut adalah :
1. Ikhlas
2. Sabar
3. Khusyu’
4. Tawadlu
5. Zuhud
6. Itsar

Keutamaan JIHAD

سئل رسول الله أي الأعمال أفضل ؟ قال إيمان بالله و رسوله وقيل ثم ماذا ؟ قال الجهاد في سبيل الله قال ثم ماذا ؟ قال حج مبرور (فتح الباري رقم 26 ورقم1519 و مسلم رقم 83)
Rosululloh saw. Pernah ditanya; amalan apakah yang palilng utama? Beliau menjawab Iman kepada Alloh dan Rosul-Nya. Beliau ditanya lagi; kemudian apa? Beliau menjawaj ; Jihad fii sabiilillah. Lalu ditanya lagi: kemudian apa? Beliau menjawab; Haji Mabrur.”

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال جاء رجل إلي رسول الله صلي الله عليه وسلم فقال دلني علي عمل يعدل الجهاد قال لا أجده قال هل تستطيع إذا خرج المجاهد أن تدخل مسجدك فتقوم ولا تفتر وتصوم ولا تفطر قال ومن يستطيع ذلك. قال أبو هريرة إن فرس المجاهد ليستن في طوله فيكتب له حسنات

Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata: “Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata:’Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!’ Beliau menjawab: ‘Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti,puasa dan tidak berbuka?‘ Lalu orang tersebut berkata:’Siapa yang mampu melakukan hal tersebut.’ “ Abu Huroiroh berkata:”Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan”.(Al-Bukhori 4/200)

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قيل يا رسول الله أي الناس أفضل فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم مؤمن مجاهد في سبيل الله بنفسه وماله قالوا ثم من قال مؤمن في شعب من الشعاب يتقي الله ويدع الناس من شره.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata :”Dikatakan kepada Rosululloh saw. ;Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama? Rosululloh saw. Menjawab:Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya .Mereka bertanya lagi: Kemudian siapa? Beliau menjawab: Seorang mukmin yang berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia dari kejahatan mereka .”(Al-Bukhori: 4/201).

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من ءامن بالله وبرسوله وأقام الصلاة وصام رمضان كان حقا علي الله أن يدخله الجنة جاهد في سبيل الله أو جلس في أرضه الذي ولد فيها فقالوا يا رسول الله أفلا نبشر الناس قال إن في الجنة مائة درجة أعدها الله للمجاهدين في سبيل الله ما بين درجتين كما بين السماء والأرض .

Dari Abu Huroiroh ra. Bahwasanya rosululloh bersabda:”Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan rosul-Nya,menegakkan sholat dan menunaikan puasa romadhon ,maka Alloh pasti akan memasukkannya kedalam syurga, baik dia berjihad di jalan Alloh maupun duduk di daerah ia dilahirkan.”Maka para sahabat berkata:”Bagaimana kalau hal ini kami kabarkan kepada orang-orang?” beliau bersabda:”Sesungguhnya di syurga itu ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh yang mana jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori:4/202)

وعن عمرو بن عبسة رضي الله عنه قال قال رحل يا رسول الله ما الإسلام ؟قال أن يسلم قلبك وأن يسلم المسلمون من لسانك ويدكقال فأي الإسلام أفضل؟ قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله والبعث بعد الموت قال فأي الإيمان أفضل؟ قال الهجرة قال وما الهجرة؟ قال أن تهجر السوء قال فأي الهجرة أفضل؟ قال الجهاد قال وما الجهاد؟ قال أن تقاتل الكفار إذا لقيتهم قال فاي الجهاد أفضل؟ قال من عقر جواده وأهريق دمه

Artinya :"Dari Amr bin Habasah ra. beliau berkata:Ada orang bertanya kepada rosululloh: ‘Wahai Rosululloh, apakah Islam itu?’ Beliau menjawab:’Hendaknya hatimu merasa aman, dan juga orang-orang muslim merasa aman dari lidah dan tanganmu.’Orang tersebut bertanya:’Lalu bagaimanakah Islam yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Iman.’ Orang tersebut bertanya lagi; ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab: ‘Hendaknya kamu beriman kepada Alloh, malikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya,Rosul-rosul-Nya dan kebangkitan setelah mati.Orang tersebut bertanya lagi:lalu bagaimanakah iman yang paling utama itu?’ Beliau menjawab: ‘Hijroh.’ Orang tersebut bertanya lagi:’Apakah hijroh itu?’ Beliau menjawab; ‘Hendaknya engkau meninggalkan amalan jelek.’Orang tersebut bertanya lagi:’Lalu bagaimanakah hijroh yang paling utama itu?’ Beliau menjawab: ‘Jihad.’ Orang tersebut bertanya lagi: ‘Apakah jihad itu?’ Beliau menjawab: ‘Hendaknya engkau memerangi orang kafir jika kamu bertemu mereka.’ Orang tersebut bertanya lagi: ‘Lalu bagaimanakah jihad yang paling utama itu?’ Beliau menjawab; ‘yaitu siapa saja yang terluka kudanya dan tertumpah darahnya.’ ” (HR. Ahmad IV/114 dan sanadnya shohih juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni,Al-Baihaqi dalam kitab syu’abul iman I/9 dan lain-lain.)

ما اغبرت قدما عبد في سبيل الله فتسهما النار
“Tidaklah mungkin kedua kaki hamba yangberdebu fii sabiilillah lalu disentuh api neraka.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatka hadits dengan sanad hasan dari Makhul secara mursal, ia berkata:

جاء رجل إلي النبي فقال يا رسول الله إن الناس قد غزوا وقد حبسني شيئ فدلني على عمل يلحقني بهم ! قال هل تستطيع قيام الليل ؟ قال أتكلف ذلك ! قال هل تستطيع صيام النهار؟ قال نعم. قال فإن إحياءك ليلك صيامك نهرك كنومة أحدهم. (مصنف ابن أبي شيبة 5/297)
Seseorang dating kepada Rosululloh dan berkata:”Wahai Rosululloh, orang-orang pada berangkat berperang, sedangkan aku terhalang oleh sesuatu. Maka tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang pahalanya menyamai mereka! Beliau bertanya:”Apakah kamu bisa qiyamul lail?” Orang tersebut menjawab:”Aku berat dalam melaksanakannya.” Beliau bertanya lagi:”Apakah kamu bisa siyam pada siang hari?” ia menjawab:”Ya.” Rosululloh bersabda:”Sesungguhnya qiyamullailmu dan siyammu pada siang hari pahalanya sama dengan tidurnya mereka.”

Keutamaan syahid

من قاتل في سبيل الله فواق ناقة فقد وجبت له الجنة و من سأل الله القتل في سبيل الله من نفسه صادقا ثم مات أو قتل فإن له أجر شهيد و من جرح جرحا في سبيل الله أو نكب نكبة فإنها تجيء يوم القيامة كأغزر ما كانت لونها لون الزعفران و ريحها ريح المسك و من خرج به خراج في سبيل الله كان عليه طابع الشهداء

“Barang siapa yang berperang fii sabiilillah sekalipun hanya sekejap, maka wajib baginya untuk masuk jannah. Barang siapa yang memohon kepada Alloh untuk mati syahid dengan sungguh-sungguh, lalu ia mati atau terbunuh, niscaya ia akan dituliskan baginya pahala orang yang mati syahid. Barang siapa yang terluka fii sabiilillah atau cedera, niscaya pada hari kiyamat nanti akan mengucur lebih deras dari pada lukanya itu, warnanya bagaikan za’faron dan aromanya bagaikan kasturi. Barang siapa yang lukanya mengeluarkan fii sabiilillah, niscaya ia akan mendapatkan cap stempel para syuhada’ pada nanahnnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’I, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Mu’adz bin Jabal)

إن للشهيد عند الله خصالا – سبع خصال- أن يغفر له من أول دفعة من دمه و يري مقعده من الجنة ويحلى حلية الإيمان و يزوج من الحور العين ويجار من عذاب القبر ويأمن من الفزع الأكبر ويوضع على رأسه تاج الوقار الياقوتة منه ختر من الدنيا وما فيها ويزوج اثنتين وسبعين من الحور العين و يشفع في سبعين إنسانا من أقاربه (حديث صحيح رواه أحمد والترمذي وابن حبان )

“Sesungguhnya orang yang mati syahid itu memdapatkan tujuh macam di sisi Alloh:
(1) Diampunkan dosanya sejak pertama kali tetesan darahnya. (2) Melihat tempat duduknya di jannah, (3) Dihiasi dengan hiasan iman, (4) Diamankan dari adzab kubur, (5) Aman dari Al-Faza’ul Akbar, (5) Diletakkan mahkota diatas kepalanya, satu permata yang ada padanya lebih baik dari pada dunia dan seisinya, (6) Dikawinkan dengan 72 Huurun ‘Iin, (7) Diberikan syafa’at untuk 70 kerabatnya.

والذي نفسي بيده لا يكلم أحد في سبيل الله والله اعلم بمن يكلم في سبيله إلا جاء يوم القيامة اللون لون الدم والريح ريح المسك (رواه مسلم وأحمد )

“Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorangpun yang terluka fii sabiilillah – dan Alloh Maha tahu siapa yang terluka fii sabiilillah- kecuali orang tersebut akan datang pada hari kiyamat dalam keadaan lukanya berwarna darah namun baunya bau kasturi.”

ليس شيئ أحب إلى الله من قطرتين أو أثرتين قطرة دمعة من خشية الله وقطرة دم تهراق في سبيل الله وأما الأثران فأثر في سبيل الله وأثر في فريضة من فرائض الله (حديث حسن رواه الترمذي )

“Tidak ada sesuatupun yang lebih Alloh cintai melebihi dua tetesan atau dua bekas. Yaitu tetesan air mata karena takut kepada Alloh dan tetesan darah yang tertumpah fii sabiilillah adapun dua bekas adalah bekas berjihad fii sabiilillah dan bekas dalam melaksanakan suatu kewajiban dari kewajiban- kewajiban Alloh.”

Keutamaan kuda mujahid

من احتبس فرسا في سبيل الله إيمانا بالله وتصديقا بوعده فإن شبعه وريه وروثه وبوله في ميزانه يوم القيامة ( البخاري رقم 2853 )
“Barang siapa yang memelihara kuda fii sabiilillah lantaran iman kepada Alloh dan percaya kepada janji Alloh, maka makanan yang mengenyangkannya, minumannya, beraknya dan kencingnya berada dalam timbangannya pada hari kiyamat.”

الخير معقود بنواصى الخيل إلى يوم القيامة والمنفق على الخيل كالباسط كفّه بالنفقة لا يقبضها (صحيح, رواه الطبرانى في الأوسط عن أبي هريرة وهو في صحيح الجامع برقم 3344 )

“Kebaikan itu terikat pada jambul kuda sampai hari kiyamat dan orang yang membelanjakan hartanya untuk kudanya seperti orang yang berinfaq dan tidak menahannya.”
الخيل معقود بنواصيها الخير إلى يوم القيامة : الأجر والمغنم (صحيح متفق عليه وهو في صحيح الجامع برقم 4410)

“Kuda itu terikat pada jambulnya kebaikan sampai hari kiyamat: yaitu pahala dan ghonimah.”

Huurun ‘Iin dan ciri-cirinya

وحور عين ثم كأمثال اللؤلؤ المكنون[الواقعة]

Ath-Thobari berkata dalam menafsirkan ayat ini:
“Sedangkan Al-Huur adalah jama’ah dari Hauro’ yang artinya suci matanya sangat hitam dan sangat putih (bermata jeli) maka dengan demikian ‘Iin adalah jama’ dari ‘Aina’ yang artinya yang sangat indah matanya. Sedangkan firman Alloh yang berbunyi “ Kaamtsalil lu’luil maknun “ (seperti permata yang tersimpan) dalam kejernihan dan putihnya mereka untuk pelayan seperti permata yang tersimpan.”

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas:
Sebagian ada yang membaca dengan dlommah dengan demikian maksudnya adalah dan mereka di sana mendapatkan huurun ‘iin. Adapun jika dibaca kasroh maka akan mengandung dua kemungkinan arti, kemungkinan pertama I’robnya mengikuti sebelumnya,seperti firman Alloh:”Mereka dikelilingi oleh para pelayan-pelayang yang tetap umurnya. Dengan membawa cangkir-cangkir, ceret-ceret dan gelas-gelas yang berisi dari mata air mereka tidak pusing dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan yang mereka pilih dan daging burung yang mereka inginkan dan huurun ‘iin. Sebagaimana juga halnya firman Alloh “ Wamsahu biru usikum warjulikum “ dan juga firman Alloh “ ‘Alaihim tsiyabun sunsudun” . Dan kemungkinan kedua adalah Huurun ‘iin termasuk yang dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang tetap muda akan tetapi didalan istana dan tidak berada diantara mereka namun berada dalam kemah-kemah para pelayan itu mengelilingi hurun ‘iin. Wallohu a’lam. Dan firman Alloh “ Kaamtsalil lu’luil maknun “ artinya mereka seperti permata yang sejuk/lembab dalam hal keputihan dan kejernihannya sebagaimana yang telah lalu dalam surat Ash-Shoffaat.

وكواعب أترابا [النباء33]

Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan ayat ini:
“Kawa’ib jama’ dari ka’ib yang berarti “montok buah dadanya”. Adl-Dluhak berkata:”sebagai mana montoknya buah dada perawan.”

Ath-Thobari ketika menafsirkan ayat di atas berkata:
“Dan firman Alloh “ Wakawaibu atroobaa” yaitu yang montok buah dadaanya dan sebaya umurnya. Dan begitulah para ahli tafsir mengatakan.
Dan diantara yang mengatakan hal itu adalah sebagai mana yang diceritakan kepadaku oleh ‘Ali, beliau berkata bercerita kepada kami Sholih beliau berkata; bercerita kepada saya Mu’awiyah dari ‘Ali dari Ibnu Abbas tentang firman Alloh وكواعب beliau berkata; montok buah dadanya.
Dan sedangkan firman Alloh “ Atroobaa “ adalah sebaya. Bercerita kepadaku Muhammad bin Sa’ad, belau berkata; bercerita kepadaku bapakku, ia berkata; telah bercerita kepadaku pamanku, ia berkata; telah bercerita kepadaku bapakku dari Ibnu Abbas tentang firman Alloh “ Wakawaibu atroobaa” yaitu wanita-wanita yang sebaya. Bercerita kepadakami Ibnu Abdil A’la, ia berkata; bercerita kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar dari Qotadah tentang firman Alloh “ Wakawaibu atroobaa” yaitu wanita-wanita yang montok buah dadanya dan seumur.
Bercerita kepadaku Bisyr,ia berkata; bercerita kepadakami Yazid, ia berkata; telah bercerita kepadakami Sa’id dari Qotadah kemidian ia benggambarkan isi jannah, ia berkata: “ Hadaaiqo wa a’naabaa wakawaibu atroobaa” adapun “ Wakawaibu atroobaa “ adalah wanita-wanita yang seumur. Bercerita kepadaku Abbas bin Muhammad, ia berkata; telah bercerita kepada kami Hajjaj dari Juraij; “ al kawaa’ib” artinya adalah yang montok buah dadanya.
Bercerita kepadaku Yunus, ia berkata; telah mengkabarkan kepada kami Wahab, ia berkata; berkata Ibnu Zaid tentang ayat yang berbunyi: “ Wakawaibu atroobaa” ia berkata “ al kawaa’ib” adalah yang montok dan menonjol buah dadanya sedangkan “atroobaa “wanita-wanita yang sebaya. “ Wakawaibu atroobaa” artinya yang bermata jeli dan montok buah dadanya. Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lain berkata: ” kawaa’ib ” adalah buah dada mereka montok dan tidak menggantung karena mereka masih perawan dan sebaya (seumur) sebagaimana yang telah dibahas dalam surat Al-Waqi’ah. Ibnu Abi Hatim berkata: Dari Abi Umamah bahwasanya belau pernah mendengar Rosululloh bersabda:”Sesungguhnya baju gamisnya penghuni jannah itu terjulur dari ridlo Alloh dan sesungguhnya awan akan melalui mereka dan menyeru; wahai penghuni jannah apakah kalian inginkan aku menghujani kalian. Hingga awan itupun menghujani mereka dengan paaara bida dari yang montok buah dadanya dan sebaya.”

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas:
“ Wakawaibu atroobaa” artinya yang bermata jeli dan montok buah dadanya. Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lain berkata: ” kawaa’ib ” adalah buah dada mereka menonjol dan tidak menggantung karena mereka masih perawan dan sebaya (seumur) sebagaimana yang telah dibahas dalam surat Al-Waqi’ah. Ibnu Abi Hatim berkata: Dari Abi Umamah bahwasanya belau pernah mendengar Rosululloh bersabda:”Sesungguhnya baju gamisnya penghuni jannah itu terjulur ari ridlo Alloh dan sesungguhnya awan akan melalui mereka dan menyeru; wahai penghuni jannah apakah kalian inginkan aku menghujani kalian. Hingga awan itupun menghujani mereka dengan para bidadari yang montok buah dadanya dan sebaya.

إن أصحاب الجنة اليوم في شغل فاكهون هم وأزواجهم في ظلال على الأرآئك متكئون لهم فيها فاكهة ولهم ما يدعون سلام قولا من رب رحيم (يس:55-58 )

Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas berkata:
Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Qotadah dan Mujahid berkata:”Mereka sibuk di dalam memecahkan keperawanan para bidadari. Sedangkan At-Tirmidzi menyebutkan dalam kitabnya Musykilul Qur’an; Telah menceritakan kepada kamu Muhammad bin Hamid Ar-Rozi; beliau berkata; telah bercerita kepad kami Ya’qub bin Al-Qommi dari Hafsh bin Hamid dari Syamar bin ‘Ithiyyah dari Syaqiq bin Salamah dari Abdulloh bin Mas’ud tentang ayat ini:”Mereka sibuk dalam memecahkan keperawanan para bidadari.”
Dan dalam riwayat adari Ibnu Abbas sama seperti itu. Abu Qilabah berkata:”Ketika seorang dari penduduk jannah bersama dengan keluarganya, dikatakan kepadanya; beranjakalah dari keluargamu! Maka ia menjawab:Aku sibuk bersama keluargaku lalu dikatakan lagi beranjaklah dari keluargaku maka dikatakan penduduk jannah sibuk dengan kenikmatan sehingga tidak sempat memperhatikan ahlul maksiyat dan neraka tempat tinggal mereka serta adzab pedih yang mereka rasakan, meskipun diantara mereka ada kerabat dan keluarga mereka. Hal ini dikatakan oleh Sa’id ibnul Musayyib dan lainnya.
Dan dalam sebuah Khobar dari Abi Sa’id Al-Khudri bahwasanya Nabi bersabda:”Sesungguhnya penduduk jannah setiap kali mengumpuli istri mereka, mereka kembali perawan lagi. Dan ibnu Abbas berkata: ”Sesungguhnya seorang penduduk jannah benar-benar memeluk istrinya selama tujuh puluh tahun dan tidak bosan dan istrinyapun tidak bosan. Setiap kali ia mengumpulinya istrinya kembali lagi menjadi perawan, dan setiap kali ia menemuinya bangkit lagi syahwatnya, lalu ia mengumpulinya dengan kekuatan tujupuluh orang dan tidak keluar mani baik dari dirinya maupun dari istrinya.”
Ath-Thobari ketika menafsirkan ayat di atas berkata:
Para ahli tafsir berselisih pendapat tentang makna As-Sughul yang Alloh sebutkan sebagai keadaan penduduk jannah pada hari qiyamat. Diantara mereka ada yang mengatakan; sibuk dalam memecahkan keperawanan para bidadari. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan Ibnul Musayyib.
Dan yang lain mengatakan; akan tetapi yang dimaksud adalah mereka berada dalam kenikmatan. Hal ini diriwayatkan dari Mujahid. Dan dari riwayat Al-Hasan, belau berkata: mereka disibukkan dengan kenikmatan sehingga tidak sempat memberikan perhatian kepada penduduk neraka. Dan yang lain mengatakan; mereka sibuk sehingga tidak sempat memberikan perhatian kepada apa yang didapatkan penghuni neraka. Hal ini diriwayatkan dari Isma’il bin Kholid. Dan penadapat yang paling mendekati kebenaran adalah sebagai mana yang disebutkan oleh Alloh bahwasanya penghuni jannah sibuk bersama dengan keluarga mereka dengan kenikmatan, memecahkan keperawanan bidadari, bermain, kesenangan sehingga tidak sempat memperhatikan apa yang menimpa penduduk neraka.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas berkata:Alloh menceritaka bahwasanya penduduk jannah nanti pada hari qiyamat setelah beranjak dari ‘aroshot mereka singgah di taman-taman jannah, mereka tersibukkan dengan segala kenikmatan dan keberuntungan yang mereka dapatkan sehingga tidak memperhatikan yang lain. Berkata Al-Hasan Al-Bashri dan Isma’il bin Abi Kholid, mereka tidak sempat memperhatikan adzab yang menimpa penduduk neraka. Dan berkata Mujahid:”Fakihun artinya mereka tertutup dalam kenikmatan.” Dan begitu pula yang dikatakan Qotadah. Sedangkan Ibnu Abbas berkata:”Fakihun artinya adalah senang.” Berkata Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Ikrimah, Al-Hasan, Qotadah, Al-A’masy, Sulaiman At-Taimia dan Al-Auza’I tentang firman Alloh …. Mereka sibuk dalam memecahkan keperawanan bidadari. Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas “ fi syuglin fa kihun “sibuk dalam mendengarkan senar alat musik. Dan Abu Hatim berkata:”Mungkin ini salah dengar, yang benar adalah sibuk dalam memecahkan keperawanan bidadari.”


Selalu ingat firman Allah- yang artinya -
1. “ dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang gugur dijalan Allah – bahwa mereka itu – mati. Bakan sebenarnya mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya – merasakannya” (surat Al Barqarah : 154)
2. “diwajibkan atas kalian berperang – dan itu memang sesuatu hal yang kalian benci- boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu sesuatu yang baik bagimu dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu padahal itu sesuatu yang jelak bagimu . dan Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahui” ( AlBaqarah : 216)
3. dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridloan Allah dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya” (Al Baqarah : 207 )
4. “setiap yang bernyawa itu pasti akan mati “ ( surat Ali Imron : )
5. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (QS. 61:10) (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, (QS. 61:11) niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. 61:12) Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS. 61:13) Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?". Pengikut-pengikut yang setia itu berkata:"Kamilah penolong penolong agama Allah!", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61:14)
….masih banyak ayat – ayat Allah yg lain silahkan dibaca tafsirnya dan sama – sama dipelajari hadits Rasulullah. Seperti :

مَنْ جَهَّزَ غَاِزيًا فَقَدْ غَزَى (رواه البخاري )

Barang siapa yang mempersiapkan perbekalan untuk yang akan berperang –maka dia telah berperang juga – wallahu a’lam.

DAFTAR ULAMA SALAF

SALAF I
Abu Bakar Ra
Umar bin Khottob Ra
Ali bin Abi Thalib Ra
Abu Ubaidah Ra
Abdullah bin Busyr
Ammar bin Yasir
Abu Musa
Aba Sa'id
Abu Hurairah
Abu Darda'
Syidad bin Aus
Tamim ad Dary
Usamah bin Zaid
Ummu Sulaim
Abu Thalhah
Abu Umarah al Baituly
Abu Mas'ud al-Badri
Abdullah bin Umar
Abu Dzar
Ady bin Hatim
Khodijah
'Uqbah bin Muits
Mus'ab bin Umair
As'ad bin Jurrah
Usaid bin Khudhoir
Abu Ayyub al-Anshary
Sahl bin Suhail
Abu Jahl bin Hisyam
Sa'd bin Muadl
Abdullah bin Ummi Maktum
Khabbab bin Mundlir
Khalid bin Walid
Utsman bin Thalhah
Hatib bin Abi Balta'ah
Mua'dl bin Jabal
Jabir bin Abdullah
Jarir bin Abdullah
Ibnu Abbas
Imran bin Husain
Asma'
'Aisyah
Amir bin Fuhairah
Ash bin Wa'il
Bara'
Jabir bin Samurah
Khudzaifah bin 'Usaid
Tsauban
Abdullah bin Amru bin Ash
Munib al Azawy
Anas bin Malik
Abdurrahman bin Jubair
Ummul Khusain
Majasi' al Aslamy
Ibnu Handholah
Yazid bin Mu'awiyah
Ikrimah bin Abi Jahl
Qeis bin Sa'id bin Ubadah
Muhammad Nafsu Zakiyyah
Jubair bin Mut'im
Amru bin Sa'id Ayasya
Najasi bin Mas'ud
Zaid bin Ubaid
Salamah al akwa'
Abu Saffara
Utsman bin Mazh'un
As-Sa'dy
Fudaik
Salman al Farisy
Najasyi
Ruqoyyah
Ja'far bin Abi Thalib
Abu Bakrah
Mu'awiyah
Salim Maula Khudzaifah
Abu Ubaidah
Auf bin Mask
Dliman
Khudzaifah bin Yaman

salaf II
Ad-Darimy
Ibnu Majah
Ibnu Rajab
Abdul Qoyyum asy Syuhaibi
Abu Hanifah
Asy-Sya'by
Auza'i
Ibnu Battoh
Abu Zur'ah
Ubaidillah bin Muhammad bin Battah
Abu Isma'il ash Shabuni
Ibnu Juraij
'Ubaid bin Umair al-Laitsi
Syuraik
asy-Syatiby
Sa'id bin Jubair
Syuraikh
Maimun bin Mihran
Abdullah bin Abi Yazid
Urwah bin Zubair
Atha' bin Abi Rabah
Ali Al Madiniy
Zaid bin Tsabit
Ubay bin Ka'ab
Ath Tufiy
Yazid bin Harun
Nafi'
Ibrahim at-Thamiy
Abdullah al Umary
Buraid maula ibnu Musayyib
Ibnu Busyr
Ibrahim bin Adham
Abdullah binAli al Abbasiy
Mush'ab bin Ahmad bin Mus'ab
Abu Ahmad al Mawazy
Qolabah
Anas bin Salamah al Hamdany
Abu Nu'aim
Abu khath Hushaini
Ibnu Munir
Ibnu Abdil Barr
Sufyan bin 'Assal
Abdurrahman al Mahdy
Hammad bin Salamah
Dlohhak
Abu Muhammad al Burbihariy
Ibnu Hisyam
Khultsum bin al Hadan
Sa'id bin Khaitsum
Shamit bin Amru al Amiriy
Abdurrahman al ghifari
Abu Bakar al Anbary
Imam Aba Bathin
Wahab bin Munabbih
Tsabit bin Dhohhak
Sa'id bin Musayyib
Ibnu Taimiyyah
Ibni Qoyyim
Ibnul Jauzy
Ibnu Abil Izz
Ibnu Hajar Al Atsqolani
Ibnu Hajar al Haitamiy
Imam Malik
Ibnu Katsir
Al Bashwy
Umar bin Abdul 'Aziz
Hissan bin Zaid
Abdullah bin Uroiqidl
Hasan al Bashry
Abu Mask
Mujahid
Qotadah
Abdurrahman bin Qotadah
Al Khataby
Fudhoil bin 'Iyadl
Imam Syafi'i
Ibnu Hammam al Hanafy
As Shaidiy al Makky
Ibnu Najjar al Hanbaly
Ibnu Rusyd
Ibnu Hibban
Ibnu 'Adiy
Ibnu 'Asyakir
Khatib Al Baghdady
Ath-Thayalisy
Al Qurthuby
Zarkasyi
Zarqony
Al Makky bin Abi Thalib
Salamah bin Muzayyid al Jufy
Yahya bin Al Qotthon
Ibrahim As Syaigh
Ibnu Atsir
Abu Ja'far al Mansur
Ibnu Sayyidih
Zainab binti Hamid
Abdul Malik bin Marwan
Al Badriy
Ar Rofi'i
at-Thabary
Ibnu Qudamah
Ibnu Husain Ali bin Ismail Al Andalusi
Ibnu Ishaq (lughah)
Al Wahidy
Fakhrurrozy
M/ Afif Azari
Sufyan bin 'Uyainah
Abdul Qodir Jaelany
Muhammad bin Sirin
Abul 'Aliyah
Abu Sulaiman Ad-Dariny
Ma'ruf AlKokhi
Assaro' As Salaby
al Juraud
Abul Bayan
Abu Ja'far at Tohawy
al Aini
Ibnul Araby
Abu Ubaid
Suyuthy
Ibnu Ishak
Ja'far bin Bisr
At Thoyyiby
As Sirady
Abu Zahrah
Ar Raghib Asfahany
al Mawardy
Abu Bakar Jassos
Abu Ya'la
Abdul Qodir al Baghdady
Qolassandy
Ibnu Mandlur
M. bin Abdul Wahhab
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Hasyimy
Bukhari
Muslim
Nasa'i
Tirmidzi
Ahmad
Hakim
Thabary
Abu Dawud
Abu Dawud al Qiznini
Abdurrahman Muhammad bin Qasim Al Hanbaly An Najdy
al Alusy
Abu Hamid al Ghozaly
Al Baihaqy
Al lalka'i
An Nawawi
Asy Syaukany
Ibnu Wadhah
As'ad bin Musa
As'ad bin al Furat
Abu Syarrah
Abu Hamzah as Syukry
Abdullah bin Mubarak
Ishaq bin Rohiyyah
Al Makmun
Ibnu At Tien
Ibnu Hazam
Qodli 'Iyadl
Abu Yusuf
Harun Ar Rasyid

TA'RIF JAMA'AH

الجـمـــــاعــــة


I. TA'RIF JAMA'AH
1. Bahasa
الْجَمَـاعَةُ هِىَ الاِجْتِمَـاعُ وَ ضِدُّهـَا التَّفرُّقُ
Secara bahasa kata Al Jamaah terambil dari kata Al Ijtima' (perkumpulan) lawan kata dari At Tafarruq (perpecahan)
الْجَمَـاعَةُ هِىَ الاِجْتِمَـاع وَ ضِدُّهـَا الفِرْقَـةُ
Secara bahasa kata Al Jamaah terambil dari kata Al Ijtima' (perkumpulan), dan lawan kata dari Al Firqoh (Golongan)
2. Istilah
وَ الْجَمَـاعَةُ طَائِفَةٌ مِنَ النَّـاسِ يَجْمَعُهَـا عَرْضٌ وَاحِدٌ
Al Jamaah bermakna : Sekelompok Manusia yang berkumpul dalam satu tujuan
3. Pemahaman Jama’ah secara Syar’i
Ma'na syar'an Al Jama'ah adalah sebagaimana yang diberikan oleh Ahlul ‘Ilmiy, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam memberikan definisi-nya. Sedang maksud definisi yang mereka berikan adalah definisi untuk makna Al-Jama'ah dalam arti Jama'atul-Muslimin, bukan yang lain. Paling tidak ada 5 makna menurut mereka, yaitu :
1. Jama'ah adalah sawadul a'dhom (jumlah yang terbesar / mayoritas) dari kaum muslimin yang terdiri dari para mujtahid ummat, ulama'-ulama-nya, para ahli syari'ah dan ummat yang mengikuti mereka. Selain mereka yang disebutkan di atas (yang keluar dari jamaah) adalah Ahlul Bid'ah.
2. Jama'ah adalah jama'ah-nya para aimmah mujtahidin dari ahli fiqh, ahli hadits dan ahli ilmu. Dan barangsiapa yang keluar dari mereka maka ia mati seperti dalam keadaan Jahiliyyah. Karena ulama' adalah hujjah Allah atas seluruh ummat manusia.
3. Jama'ah adalah para shahabat radliyallaahu 'anhum saja. Yang maksud dari luzumul-Jama'ah disini adalah meng-iltizami dan mengikuti petunjuk apa saja yang ada pada mereka. Karena merekalah penegak pilar-pilar Ad-Dien dan mereka mustahil bersepakat dalam kesesatan.
4. Jama'ah adalah jama'ah orang-orang Islam apabila mereka berkumpul (sepakat) dalam satu masalah, yang wajib bagi yang lain mengikuti mereka.
Dari empat pendapat pertama ini dapat disimpulkan yaitu bahwa makna luzumul Jama'ah adalah : Mengikuti Ahlul Ilmy dalam Al haq dan Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam. Makna inilah yang dimaksud dengan jama'ah ahlil Ilmi dan ulama' mujtahidin dari kalangan Ahlus-Sunnah. Merekalah Al Firqoh An Najiyah yang semua orang wajib mengikuti mereka dalam 'aqidah dan manhaj-manhajnya.
5. Jama'ah adalah Jama'atul Muslimin apabila mereka berkumpul (sepakat) pada satu imam. Maka Rosululah shalallahu 'alaihi wa salam memerintahkan untuk mengiltizami-nya dan melarang dari memecah belah ummat terhadap apa yang mereka sepakati.
II. MASYRU'IYYAH AL JAMAAH
Allah 'Azza wa Jalla dan Rosul-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah rosul-Nya telah menyuruh ummat manusia agar hidup ber-jamaah, berkumpul, saling membantu, saling meringankan dan melarang dari berpecah belah, bercerai berai, juga saling menjatuhkan satu sama lainnya.
Banyak Nash-nash Al Quranul Karim dan Hadits Rosulullah shalallahu 'alaihi wa salam yang mengisyaratkan akan hal itu, diantaranya,
1. Firman Allah Azza wa Jalla :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ { ال عمران 103}
Ibnu Katsir dalam tafsir Al Quran Al ‘Adhim-nya menyebutkan tentang maksud ayat di atas yaitu perintah untuk berpegang teguh dengan Al Quran, berjamaah serta menggalang persatuan dan bersatu, serta larangan untuk bercerai berai, Beliau menambahkan lagi dengan menyitir hadits dari Abi Huroiroh, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثاً : يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَ لاَ تَفَرَّقُوْا وَ أَنْ تَنَـاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ , وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا : قِيْلض وَقَالَ , وَكَثْرَةَ السُّوأَلِ وَ إِضَاعَةَ الْمَـالِ {رواه مسلم }
Sesungguhnya Allah ridho kepada kalian akan 3 hal dan marah akan 3 hal juga. Ia ridho kepada kalian akan hal ; bahwa kalian beribadah kepada-Nya saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, agar kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan jang bercerai berai, dan agar kalian saling menasehati orang yang oleh Allah ditaqdirkan memegang urusanmu. Dan Ia marah kepada kalian akan hal ; Banyak bicara tanpa tahu sumber dari yang dibicarakan, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta. (HR Muslim)
2. Firman Allah Ta’ala :
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلاَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ { ال عمران 105}
Ibnu Katsir berkata, "Allah Ta'ala melarang ummat ini seperti umat yang terdahulu yang berpecah belah, berselisih, meninggalkan amar ma;ruf nahi mungkar, serta tidak berani berhujjah terhadap kaum mereka." Lalu beliau menyitir hadits iftiroq yang di dalamnya hanya ada satu golongan yang masuk jannah, yaitu Al-jamaah
3. Sabda Rasululloh shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
إِنَّ اَهْلَ الْكتِاَبَىْ افْتَرَقُوْا فِى دِيْنِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً , وَ إِنَّ هَذِهِ الْاُمَّةِ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٌ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً (يَعْنِى الاَهْوَاء) كُلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَةً وَ هِىَ الْجَمَاعَةُ { احمد و ابو داود و الحاكم عن معاوية }
Sesungguhnya dua Ahlul Kitab berpecah belah dalam dien mereka menjadi 72 golongan, dan sungguh ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan -yaitu ahlul ahwa'- kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama'ah. (Abu Dawud, Ahmad, Hakim dll hadits dari Mu'awiyah dan Anas radliyallaahu 'anhu)
4. Sabda Rasululloh shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
وَ إِنَّ بَنِى إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً , وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِىْ عَلَى ثَلاَثٌ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَةٌ . قَالُوْا : وَ مَنْ هِىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَا اَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِى { الترمذى و الحاكم و غيرهما عن عبد الله بن عمروا بن العاص }
“Dan sesungguhnya Bani Isroil terpecah menjadi 72 golongan, dan ummat-ku akan terpecah menjadi 73 golongan yang seluruhnya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja". Para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu ya Rosulullah ?", Rasulullah bersabda,"Yaitu yang aku dan para shahabatku ada pada mereka ". (HR Tirmidziy, Hakim dari Abdullah bin Amru bin Al 'Ash)
5. Sabda Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam :
تَلْزِمُ جَمَـاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَـامَهُـْم { البخـارى و مسلم }
Ber-iltizam-lah pada Jama'atul Muslimin dan Imam mereka (Al-Bukhoriy dan Muslim)
6. Sabda Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِالْجَماَعَةِ وَ إِيَّاكُمْ وَ الْفُرْقَةَ فَاِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَ هُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ اَبْعَدُ , مَنْ اَرَادَ بُحْبُحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ { رواه الترميذى و الحاكم و احمد ووافقه الذهبى و ابن ابى عاصم }
"Aku perintahkan kepada kalian agar berjama'ah dan jauhilah berfirqoh, maka sesungguhnya syaithon itu bersama seorang yang sendirian dan ia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (mewahnya) jannah, maka hendaklah ia ber-iltizam kepada Jama'ah " (Tirmidzi, Hakim, Ahmad dan disepakati Adz Dzahabiy dan Ibnu Abi 'Ashim)
7. Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam :
اَمَرَكُمْ بِخَمْسٍ مَا اَمَرَنِىَ اللهُ بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْهِجْرَةِ وَ الْجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَاِنَّهُ مَنْ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ قَيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الاِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ اِلاَّ اَنْ يَرْجِعَ { احمد والبيهقي 4/320و 202, 5/344, رجاله الصحيح خلا واحد و هو الثقة }
Aku perintahkan kepada kalian 5 (lima) perkara, yang mana Allah perintahkan hal itu kepadaku, (yaitu agar kalian) berjama'ah, mendengar, tha’at, hijroh dan berjihad di jalan Allah. Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jama'ah (Jama’atul-muslimin) sejengkal saja, maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya, kecuali jika ia kembali. (Ahmad dan Baihaqi, 4/230,202,5/344, Rijal-nya shohih kecuali satu, tsiqoh.)
III. HAKEKAT AL JAMA'AH
Kalimat Al-Jama'ah tidak satupun yang terdapat dalam Al-Qur'an Al Karim, namun banyak sekali terdapat dalam As Sunnah. Dan setiap lafadh jama'ah dalam sunnah pasti diikuti dengan larangan berpecah-belah baik secara tersirat maupun tersurat.
Namun seluruh kata Al Jama'ah dan Al Bai'ah yang terdapat dalam hadits-hadits Rosulullah shalallahu 'alaihi wa salam adalah bermakna dan mengacu kepada Jama'tul Muslimin, dan tidak satupun yang mengacu serta menjadi dalil untuk Jama'atul Minal Muslimin yang ada sekarang ini.
Hakekat Al Jama'ah terdiri dari dua makna yang berdiri sendiri-sendiri namun saling berkaitan dan sama-sama memiliki kedudukan yang esensial. Yang jika keduanya terkumpul jadi satu maka lengkap dan sempurnalah makna jama'ah dan ia baru bisa disebut sebagai Jama'atul Muslimin.
1.1. MAKNA YANG PERTAMA
Makna yang pertama dari makna Jama'ah adalah : Berkumpul (bersepakat) dalam pokok-pokok yang prinsip dalam Al Quran, As Sunnah dan Ijma', serta mengikuti apa saja yang terdapat pada para Salafush Sholeh, dari menetapi Al Haq, mengikuti As Sunnah serta menjauhi bid'ah dan hal-hal yang baru, yang di ada-adakan. Dan lawan dari Jama'ah dalam makna ini adalah memecah-belah Ad Dien, dan orang yang menyelisihinya adalah golongan sesat dan Ahlul Ahwa'.
Diantara nash-nash dalam makna ini adalah, sabda Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam.
إِنَّ اَهْلَ الْكتِاَبَىْ افْتَرَقُوْا فِى دِيْنِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً , وَ إِنَّ هَذِهِ الْاُمَّةِ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٌ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً (يَعْنِى الاَهْوَاء) كُلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَةً وَ هِىَ الْجَمَاعَةُ { احمد و ابو داود و الحاكم عن معاوية }
Sesungguhnya dua Ahlul Kitab berpecah belah dalam dien mereka menjadi 72 golongan, dan sungguh ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan -yaitu ahlul ahwa'- kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama'ah. (Abu Dawud, Ahmad, Hakim dll hadits dari Mu'awiyah dan Anas radliyallaahu 'anhu)
لاَ يَحِلُّ دَمَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله وَ اَنِّى رَسُوْلُ اللهِ اِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ , النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ الثَّيِّبُ الزَّنِى وَ التَّارِكُ لِدِيْنِهِ وَ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu tiga perkara : (yaitu) seorang yang membunuh lalu dibunuh (qishosh), orang yang telah menikah lalu melakukan zina (dirajam) dan orang yang keluar dari diennyua yang meninggalkan Jamaah (murtad)
الصَّلاَة ُالْمَكْتُوْبَةُ اِلَى الصَّلاَةِ الَّتِى بَعْدَهُا كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا . قَالَ : وَ الْجُمْعَةُ اِلَى الْجُمْعَةِ وَ الشَّهْرُ اِلَى الشَّهْرِ _ يَعْنِى الرَّمَضَان _ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا . قَالَ بَعْدَ ذاَلِكَ : اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ . قَاَل : فَعَرَفْتُ اَنَّ ذَالِكَ الْاَمْرَ حَدَثٌ . الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَ نَكْثُ الصَّفَقَةِ وَ تَرْكُ السُّنَّةِ . قَالَ : اَمَّا نَكْثُ الصَّفَقَةِ اَنْ تَبَايَعَ رَجُلاٍ ثُمَّ تُخَالَفُ اِلَيْهِ تُقَاتِلُهُ بِسَيْفِكَ وَ اَمَّا تَرْكُ السُّنَّةِ فَالْخُرُوْجُ عَنِ الْجَمَاعَةِ {رواه احمد }
Sholat wajib yang satu hingga sholat wajib yang lainnya adalah (dapat) menutupi dosa-dosa (pelakunya) antara keduanya, demikian pula dari bulan ke bulan -yaitu Ramadhan- menutupi dosa-dosa antara keduanya." Setelah itu beliau bersabda, (berkata Abu Huroyroh, "Aku tahu bahwa urusan itu pasti akan terjadi") kecuali tiga hal (yaitu) syirik kepada Allah, Nakshush Shafaqoh dan meninggalkan sunnah, adapun Nakshus Shafaqoh adalah kamu baiat seseorang kemudian kamu menyelisihi ia, kamu perangi dia dengan pedang (senjatamu) sedang meninggalkan sunnah adalah keluar dari jamaah".
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan para Ahlul-'Ilmiy, diantaranya :
الْجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الْحَقَّ وَ لَوْ كُنْتَ وَحْدَكَ وَ ِفى طَرِيْقٍ اَخَرٍ : الْجَمَاعَةُ مَا وَ فَقَ طَاعَةَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
Berkata Ibnu Mas'ud , "Jama'ah adalah yang sesuai dengan Al Haq walaupun keadaan kamu sendirian". dalam riwayat lain, "Sesungguhnya Jama'ah itu apa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla".
قَالَ اَبُوْ شَامَة : حَيْثُ جَاءَ الْاَمْرُ بِلُزُوْمِ الْجَمَاعَةَ , فَالْمُرَادُ بِهِ لُزُوْمُ الْحَقِّ وَ اِتْبَاعُهُ , وَ اِنْ كَانَ الْمُتَمَسِّكُ بِالْحَقِّ قَلِيْلاً , وَالْمُخَالِفُ لَهُ كَثِيْرًا لِأَنَّ الْحَقَّ الَّذِىْ كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَمَاعَةُ الاُوْلَى مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اَصْحَابِهِ وَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى كَثْرَةِ أَ هْلِ الْبَاطِلِ بَعْدَهُمْ { الباعث لابى شامة }
Berkata Abu Syamah, "Sebagaimana perintah untuk berjama'ah, maka yang dimaksud dengannya adalah meng-iltizami Al-Haq dan mengikutinya, walaupun orang yang berpegang teguh padanya sedikit dan yang menyelisihi banyak jumlahnya. Karena Al-Haq adalah yang ada pada jama'ah yang pertama yaitu Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam dan para shahabatnya, dan tidak diukur dari banyaknya ahlul bathil setelah mereka"
Dan hal ini yang dikatakan pula oleh Abdullah bin Mubarok, ketika ditanya tentang siapa jama'ah yang pantas dijadikan panutan, beliau menjawab, "Abu Bakar dan Umar" dan ketika dikatakan mereka telah wafat, "Lalu siapakah yang masih hidup ?" Beliau menjawab, "Abu Hamzah As-Sakriy". Beliau menunjuk Abu Hamzah As Sakry di zamannya karena beliau seorang Ahli Ilmu, zuhud dan waro'.
Berkata Ishaq bin Rohuyyah :
اِنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكُ بِاَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ طَرِيْقَتِهِ فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَ تَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ
"Jama'ah adalah orang yang mengetahui dan berpegang teguh pada sunnah Nabi dan manhaj-manhajnya, maka barang siapa yang bersama Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam dan mengikutinya maka ia adalah Jama'ah ".
Maka jelaslah bahwa luzumul-Jama'ah dalam makna ini adalah masuk segi ‘ilmiy-nya, yaitu meng-iltizami Al-Haq, mengikuti sunnah, mengikuti apa saja yang ada pada Salafush Sholih, dari hal-hal yang dasar dan prinsip seperti masalah aqidah (i'tiqod), syariah, halal, haram, wala', dan juga keharusan menjauhi ahlul ahwa' dan ahlul bid'ah yang termasuk didalamnya firqoh sesat. Lawan dari jama'ah dalam pengertian ini adalah berpecah belah dalam dien. Dan orang yang menyelisihinya adalah bid'ah dan sesat walaupun ia beriltizam pada Imam dan membaiatnya.
Dan kumpulan orang yang selalu berpegang teguh kepada Al-Haq ini akan tetap ada sampai hari Qiyamat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ قَا ئِمَةٌ بِأَمْرِاللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْخَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ عَلَى النَّاسِ {رواه البخاري }
“Tetap akan ada sekelompok orang dari ummat-ku yang berpegang (berdiri) di atas perintah Allah (al-haq) yang mereka tidak mendapatkan madhorot dari orang-orang yang menghinakan atau menyelisihi mereka hingga datang ketetapan (keputusan) Allah, sedangkan mereka tetap menang (unggul) di atas manusia. (HR Al-Bukhoriy)
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنِ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَالِكَ {رواه مسلم }
“Tetap akan ada sekelompok orang dari ummat-ku yang tetap berada (konsisten) di atas al-haq, mereka tidak mendapatkan madhorot dari orang-orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah sedang mereka tetap dalam keadaan demikian. (HR Muslim)
1.2. KETENTUAN BAGI YANG KELUAR DARI JAMA'AH BERDASARKAN RUANG LINGKUP INI
a. Barangsiapa yang keluar berkaitan dengan nash-nash dasar dan men-takwil-kannya, namun masih mengimani baik secara dhohir maupun bathin dan masih menetapinya secara global , maka takwilan-nya yang keliru tersebut tidak mengeluarkan dari millah, akan tetapi memasukkan ia kedalam golongan Ahlu Bid'ah yang berbeda tingkatannya menurut kesalahan dan ketidak hati-hatiannya. Kecuali jika ada di antara mereka ke-munafiq-an di dalam hatinya, maka ia kafir pada hakekatnya.
Bagi mereka berlaku hadits yang pertama (yang menyebutkan kelompok-kelompok), dan bagi mereka yang bukan munafiq namun masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya, maka ia tidaklah kafir namun hanya salah dalam takwil.
Sebagai contoh adalah golongan Khowarij yang mereka betul-betul nyata ke-bid'ah-annya, memerangi ummat Islam serta mengkafirkannya, namun tidak satupun para shohabat baik Ali radliyallaahu 'anhu maupun yang lain yang mengkafirkan mereka, namun mereka dihukumi orang-orang muslim yang dholim dan mufsid.
b. Barangsiapa yang keluar dari jamaah dengan menolak nash-nash tanpa mentakwilkannya atau mentakwilkannya dengan tujuan mengingkari apa yang ia ketahui dari dien, atau menghalalkan sesuatu yang kaum muslimin telah sepakat keharamannya dan sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh salah satu golongan Syi'ah yaitu Qoromithoh, maka pernyataannya tersebut menyebabkan mereka murtad, setidak-tidaknya nifaq akbar, itupun juga menyebabkan mereka murtad dan meninggalkan Jama'atul Muslimin.
Bagi mereka berlaku hadits yang kedua, “Meninggalkan diennya memecah belah Jama'ah". Maka tidak diragukan lagi setiap yang meninggalkan diennya berarti ia meninggalkan Jama'ah, karena ia telah memecah belah terhadap apa yang telah menjadi kesepakatan dalam Islam.
2.1. MAKNA YANG KEDUA
Dalam makna yang kedua ini, jama'ah adalah berkumpulnya ummat di bawah seorang Imam dan mentaatinya. Jama'ah dalam makna ini adalah lawan dari Al-Baghyu (pemberontakan) serta pemecah belah Islam. Sedang pelakunya diancamakan bughot / ahlul baghyi dan nakitsun (pelanggar / Janji) walau mereka dari Ahlus Sunnah.
Dalil / nash pada makna kedua ini adalah :
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
فَاِنَّهُ مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبرْ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ لَيْسَ اَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوْتُ اِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً { البخارى و مسلم عن ابن عباس }
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia senangi pada diri amir-nya, maka hendaknya ia bersabar terhadapnya, karena sesungguhnya tidak seorangpun yang meninggalkan jama'ah satu jengkal saja kemudian dia mati, maka ia mati seperti mati dalam keadaan Jahiliyyah (Bukhori Muslim dari Ibnu Abas radliyallaahu ‘anhuma)
2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةِ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم عن ابى هريرة }
Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah belah / meninggalkan Jama'ah (Jama’atul-Muslimin) kemudian mati, maka ia matinya seperti dalam keadaan Jahiliyyah ". (HR Muslim dari shahabat Abu Huroyroh)
3. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
فَاِنَّهُ مَنْ رَأَى مِنْ اَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرَ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ لَيْسَ اَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ اِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخارى و مسلم عن ابن عباس }
Barang siapa yang melihat pada diri amir-nya sesuatu yang tidak dia senangi maka hendaknya ia bersabar terhadapnya, karena sesungguhnya tidak ada seorangpun yang keluar dari sulthon (penguasa / negara) sejengkal saja kemudian ia mati dalam keadaan demikian, maka ia tidak mati kecuali matinya seperti dalam keadaan Jahiliyyah ". (Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas)
4. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
مَنْ اَتَاكُمْ وَ اَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَىرَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ اَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ اَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ {رواه مسلم}
Siapa yang mendatangi kalian sedang urusan kalian semua berada (kamu serahkan) pada seorang (imam), dan ia mau memecah belah persatuan atau ia hendak mencerai-beraikan jama'ah kalian maka bunuhlah ia ". (HR Muslim)
5. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
تَلْزِمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَاَمَهُمْ
Dari hadits panjang Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Iltizami-lah Jama'atul Muslimin dan Imam mereka ". (Bukhori I/1480)
عَنْ عُبَادَ بْن الصَّامِت رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله عَلَى السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَ لاَ نُنَازِعَ الاَمْرِ اَهْلَهُ . قَالَ : اِلاَّ أن تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ الله فِيْهِ بُرْهَانٌ
Dari Ubadah bin Shomit ia berkata, "Kami membaiat Rasulullah shalllallaahu 'alayhi wa sallam atas dasar sam'u dan thoah, baik dalam keadaan senang, susah, lapang maupun sempit, mengutamakan di atas urusan kami, serta tidak mencabut ke-amir-an dari orang yang diserahinya, kecuali apabila kalian melihat kekafiran yang nyata dan jelas yang kamu memiliki bukti nyata di sisi Allah". (HR Abu Dawud)
Juga beberapa komentar Ahlul-'Ilmiy diantaranya :
Imam Ahmad berkata, "(Wajib) mendengar dan taat terhadap Amirul Mukminin yang baik (al-birr) maupun yang menyeleweng (al-fajir). dan peperangan harus tetap pada bersama para Imam baik maupun yang fajir tidak ditinggalkan sampai hari kiamat "
Beliau berkata lagi: "Barangsiapa yang keluar dari Imam kaum muslimin sedangkan seluruh ummat manusia telah sepakat mengangkatnya dalam kekholifahan, baik ridho maupun dengan jalan kudeta, maka sungguh ia telah memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menyelisihi As-Sunnah dari Rosulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam. Apabila ia mati (dan tetap demikian) maka ia mati seperti dalam keadaan Jahiliyyah, karena tidak halal bagi siapa saja yang memerangi Imam dan keluar darinya, sedang barangsiapa yang melakukan hal yang demikian maka ia adalah Ahlul Bid'ah dan meninggalkan sunnah dan jalan (Islam) ".
Al-Bukhory berkata dalam I'tiqod-nya, “Dan tidak mencabut keamiran dari orang yang diserahi nya", sebagaimana sabda Nabi :
ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ : اِخْلاَصُ الْعَمَلِ للهِ وَ طَاعَةُ وُلاَةُ الاَمْرِ وَ لُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Ada 3 hal yang hati seorang muslim tidak akan terbelenggu (gundah) dengannya : ikhlas beramal karena Allah, mentaati pemimpin, dan ber-iltizam kepada Jama'atul Muslimin, karena sesungguhnya ajakan mereka akan terlindungi di belakang mereka ".
Kemudian beliau kuatkan lagi dengan firman-Nya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ { النساء :59}
Hai orang-orang yang beriman ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu.
Sehingga dari nash-nash tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian Jama'ah dalam pengertian ini adalah masuk segi siyasah-nya yaitu kesepakatan untuk berkumpul pada satu Imam dan menetapi ketaatan terhadapnya selama tidak menyuruh kemaksiyatan kepada Allah, dan tidak keluar darinya kecuali jika terbukti melakukan kufran bawaahan.
2.2. KETENTUAN BAGI YANG KELUAR DARI JAMA'AH BERDASARKAN MAKNA INI
1. Orang yang tidak mau berbai'ah pada Imam, namun mereka bukan golongan Ahlul-Baghyi, Al-Muharribun, juga bukan golongan Murtadun, namun mereka hanya tidak berbaiat kepada Imam Jama'atul- Muslimin saja. Hukum bagi mereka terserah kebijaksanaan Imam.
2. Golongan Ahlul Baghyiy (pemberontak), yaitu golongan yang keluar dari Jama'ah dengan jalan kudeta (meminta kekuasaan). Dalam hal ini Al Quran telah memberikan jalan keluar dalam menghadapi fitnah mereka.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ { الحجرات 9}
3. Golongan Al Muharribun (Orang-orang yang diperangi), yaitu golongan yang keluar dari Jama'ah dengan jalan mengacau keamanan, seperti Qoththo'ut-Thoriq (perampok) yang merampas harta, berbuat kerusakan di muka bumi dll. Allah memberikan jalan keluar dalam menghadapi mereka dengan firman-Nya,
إِنَّمَا جَزَاؤُا الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي اْلأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْتُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ اْلأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيُُ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ {المائدة 33}
4. Golongan Murtaddien, yaitu golongan orang-orang yang keluar dari Jama'ah sedang mereka kafir terhadap Islam, melawan dienul Islam dan bahu membahu bersama musuh Islam. Mereka itulah orang-orang murtad yang telah jelas melepas ikatan Islam dari lehernya. Dan mereka persis seperti orang-orang murtad dimasa kholifah Abu Bakar radliyallaahu 'anhu, memecah belah dien dan jelas-jelas memerangi kaum Muslimin. Dan sama seperti orang-orang yang membunuh sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang beliau kirim bersama mereka untuk mengajarkan Al Quran dan Dienul Islam.
IV. UNSUR-UNSUR JAMAAH
A. Al-Mutho' (orang yang ditaati)
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada-Nya, Rasul-Nya dan Ulil Amri. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ ف{ النساء :59}
Hai orang-orang yang beriman ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu.
Yang dimaksud ulil Amri menurrut Ibnu Katsir : “Yaitu Ulama', secara pasti wallahu a'lam namun ia bermakna umum pada setiap ulil Amri dari umaro' (para pemimpin) dan Ulama". Sedang dalam hadits disebutkan :
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ اَطَاعَنِى فَقَطْ اَطَاعَ الله وَ مَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى الله وَ مَنْ اَطَاعَ الاَمِيْر فَقَدْ اَطَاعَنِى وَ مَنْ عَصَى الاَمِيْرِ فَقَدْ عَصَانِى { متفق عليه }
"Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Dan barangsiapa yang mentaati amirku maka ia telah mentaatiku, namun barangsiapa yang durhaka pada amirku, sungguh ia telah durhaka kepadaku". (muttafaqun 'Alaih dari Abi Huroiroh)
Hadits inilah yang dengan jelas memerintahkan untuk taat pada para ulama' dan umaro'. Sehingga Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa memerintahkan untuk taat kepada-Nya dalam artian mengikuti Al Qur'an, taat kepada Rosul-Nya yaitu mengikuti Sunnahnya dan tetap taat kepada ulil amri selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِسْمَعُوْا وَ أَطِيْعُوْا وَ إِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِىٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ { رواه البخارى }
Dengar dan taatlah kalian semua walaupun yang memerintah (yang memimpin) kalian seorang budak Habsyi (Ethiopia) yang kepalanya seakan-akan seperti anggur kering / kismis (Bukhori, Ahmad dan Ibnu Majah)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, "Ro'suhu Zabibah" adalah perumpamaan pada kerendahan (hinanya), jelek bentuk (tubuh-wajah)-nya, dan ia (masuk orang-orang yang) tidak diperhitungkan
Dalam hadits lain disebutkan ;
عَنْ عُبَادَ ةَ بْن الصَّامِت رَضِىَ الله عَنْهُ : بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله عَلَى السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَ مَكْرهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَ لاَ نُنَازِع الاَمْرِ اَهْلَهُ . قَالَ : اِلاَّ أن تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ الله فِيْهِ بُرْهَان
Dari Ubadah bin Shomit radliyallaahu 'anhu ia berkata, "Kami berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam untuk mendengar dan taat, baik kami dalam keadaan senang maupun susah, lapang maupun sempit, mengutamakan diatas urusan kami, serta tidak mencabut keamiran dari orang yang diserahi, kecuali apabila kalian melihat kufran bawaahan (kekafiran yang jelas) yang kamu memiliki bukti nyata di sisi Allah". (HR Abu Dawud)
Al Khithobi berkata , "Bawaahan dalam kufrun bawaahan adalah yang tersebar dan nyata. Sedang 'indakum minallahi fihi burhan, menurut Ibnu Hajar yaitu nash ayat atau berita yang benar dan tidak memerlukan pentakwilan."
Menurut Dr. Muhammad Abdul Qodir Abu Faris bahwa ketaatan pada amir adalah wajib, namun tidak mutlak kecuali apabila ada 3 syarat dan ketentuannya. Maka apabila ketiganya terpenuhi ketaatan tetap wajib dan menjadi mutlak, yaitu :
1. Amir dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepada Al Quran dan As Sunah serta meng-aplikasikan dalam kehidupan. Dalam Al Quran disebutkan ;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ ف{ النساء :59}
Hai orang-orang yang beriman ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu.
Ali bin Abi Tholib radliyallaahu 'anhu berkata "Wajib bagi Imam untuk menghukumi dengan hukum yang Allah turunkan dan melaksanakan amanat maka jika ia melaksanakan yang demikian wajib bagi rakyat untuk sam'u wa tho'ah." (Diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al Qosim bin Salam).
2. Amir dalam menghukumi diantara manusia harus adil, maka jika ia berbuat adil harus ditaati. Namun jika mendholimi (dholim), berbuat aniaya, bertindak sewenang-wenang, menindas, maka tidak wajib taat padanya.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء :58}
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknnya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
3. Amir tidak menyuruh manusia kepada kemaksiatan, maka jika ia menyuruh kepada kemaksiatan wajib tidak taat kepadanya. Berdasarkan hadits nabi :
السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمِعْصِبَّةٍ { رواه البخارى و مسلم }
Adalah menjadi keharusan (kewajiban) bagi seorang muslim untuk sam'u dan thoa'ah baik terhadap apa yang ia senangi atau apa yang ia benci selama tidak diperintah untuk berbuat ma'shiyat. (HR Al-Bukhoriy dan Muslim)
اِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوْفِ { احمد و البخارى و مسلم }
Ketaatan itu hanya pada hal-hal yang ma'ruf (HR Ahmad, Bukhori dan Muslim)
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَّةِ اللهِ { رواه احمد }
Tidak ada ketaatan dalam hal bermaksiyat kepada Allah (HR Ahmad)
B. Al-Muthi' (orang yang mentaati)
Tidak mungkin adanya suatu ketaatan dan orang-orang yang ditaati dapat tegak dan berjalan tanpa adanya unsur ini. Dan para ulama salaf telah sepakat seperti Muhammad bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam bahwa ayat 58 surat An Nisa' adalah berkaitan dengan para umaro' agar mereka adil dalam penerapan hukum Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء :58}
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknnya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di sini ada hak-hak muthi' yang harus dipenuhi oleh mutho', seperti harus melindungi, menjaga, membela, bersikap ramah, dll. Demikian pula dengan muthi' kepada mutho' ; mendoakan, menghormati, membela, mendukung, menjaga, menjaga nama baiknya, keluarganya, dan hartanya. Yang ada timbal balik positif antara keduanya dan terus menjaganya serta menutup rapat-rapat lobang-lobang perpecahan dan hal-hal negatif.
C. Ath-Tho'ah (Ketaatan)
Ketaatan merupakan penyangga / pengokoh dari beberapa penyangga suatu hukum dalam Islam, dan merupakan dasar dari pelbagai dasar sistem politik Islam. Karenanya tidak mungkin adanya suatu sistem / peraturan yang baik, negara yang kuat dan kokoh, tanpa adanya pemimpin, penguasa yang adil, kethaatan dari rakyat kepadanya dan saling musyawarah antara pemimpin dan rakyat. Betul-lah Umar bin Khoththob radliyallaahu 'anhu dalam perkataannya :
اِنَّهُ لاَ اِسْلاَمَ اِلاَّ بِجَمَاعَةٍ وَ لاَ جَمَاعَةَ اِلاَّ بِإِمَارَةٍ وَ لاَ اِمَارَةَ اِلاَّ بِطَاعَةٍ {رواه الدارمى }

Senin, 10 Mei 2010

Pemahaman nyeleneh dari ulil Abshar Abdallah

Pemahaman nyeleneh dari ulil Abshar Abdallah
Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini
Oleh Ulil Abshar Abdalla
Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual.
Syarh : pemahaman ini sangat bertolak belakang dengan pengertian yang telah dijelaskan oleh Allah dalam surat at-Taubah :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100)
Dan orang yang pertama kali masuk islam diantara orang muhajir dan anshor serta orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. Disediakan bagi mereka syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal selamanya itulah balasan yang besar. At-taubah ayat 100.
Dalam ayat ini terdapat “dan orang-orang yang mengikuti para kaum muhajirin dan anshor”, walaupun dalam kenyataannya tafsir tersebut ialah orang-orang tabi’in namun bila ditarik kemasa kholafisme maka bila ada sekelompok bahkan seorang yang mengikuti sunnah-sunnah mereka kelak akan mendapatkan kebaik didunia maupun diakhirat, mereka yang disebut dengan salafisme yang telah mengikuti pendahulu mereka selama berpegang tegung dengan pemahan para salafu shalih. Bukan berpegang dengan faham yang nyeleneh sesuai ungkapan diatas.
Hal ini dapat kami buktikan dalam sabda Rasulullah SAW, mengenai wasiat beliau :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Aku wasiatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada (pemimpin yang menjalankan islam) walaupun ia seorang hamba sahaya dari habasyiyah, kemudian barang siapa diantara kalian yang hidup sesudah kematianku maka kalian akan mendapatkan banyak sekali perbedaan, maka berpegang teguhlah kalian pada sunnahku dan sunnah para kholifah yang terpimpin, pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham, jaulilah oleh kalian sesuatu yang baru karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Penjelasan ini sangatlah gamlang bahwa sesudah tiadanya Rasulullah maka perbedaan dalam memahami dien ini akan beraneka ragam maka dari keaneragaman yang masih selamat ialah yang masih sesuai dengan al-quran dan sunnah bila menyelisihi maka nati akan mendapatkan siksaan diakhirat.wallahu a’lam
Dalam hal ini ibnu katsir berkata
أهل السنة فإنهم يترضون عمن رضي الله عنه، ويسبون من سبه الله ورسوله، ويوالون من يوالي الله، وهم متبعون لا مبتدعون، ويقتدون ولا يبتدون ولهذا هم حزب الله المفلحون وعباده المؤمنون.
Ahlusunnah ridho terhadap keridhoaan Allah, mencaci / menghina apa saja yang telah dihinakan Allah dan Rasul-Nya, berwali kepada siapa saja yang berwali pada Allah, mereka adalah orang yang mengikuti sunnah bukan orang yang mebikin perkara yang baru (bid’ah), mereka hanya meneruskan bukan memulai yang baru, untuk ini mereka disebut golongan Allah yang beruntung dan menjadi Hamba-Nya yang mu’min. lihat tafsirnya dalam surat at-Taubah ayat 100.
Berkebalikan dari diagnosis sejumlah sarjana modern selama ini, daya tahan agama dalam masyarakat modern ternyata jauh lebih kuat dan kenyal ketimbang yang disangkakan sejauh ini. Tesis sekularisasi yang selama ini kita kenal, yakni, bahwa makin modernisasi berkembang jauh dalam suatu masyarakat, agama akan makin tersingkir jauh dari lanskap kehidupan sosial, pelan-pelan dibuktikan salah oleh perkembangan sosial akhir-akhir ini. Alih-alih agama tersingkir dari gelanggang kehidupan umum, ia justru bangkit kembali dan menampakkan vitalitas yang jauh lebih kuat akhir-akhir ini. Di hampir seluruh sudut dunia saat ini, kita menyaksikan kembalinya agama, entah dalam bentuknya yang tradisional sebagai sebuah spiritualitas yang terlembaga, atau dalam bentuknya yang baru sama sekali, yakni spiritualitas yang tak terlembaga. Entah dalam bentuknya yang bersifat khusus, yaitu agama sebagai sebuah tindakan “belonging” (yakni, menjadi anggota dalam komunitas tertentu), atau yang bersifat umum, yaitu agama sebagai sebagai tindakan “believing” (yakni, iman yang tanpa disertai dengan keanggotaan dalam komunitas tertentu), agama telah mununjukkan daya hidupnya kembali dan hadir secara persisten dalam masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi begitu jauh.
Syarh : justru semakin jauhnya pemeluk dienul islam dari pemahamanya yang benar menunjukkan akan dekatnya kiamat, bukan kebanggan tersendiri yang harus diacungi jempol. Diantara tanda itu telah muncul berbagai aliran yang mengaku dirinya islam namun Allah malah menyebut mereka sebagai seorang pengaku bukan muslim yaitu kafir (ini secara kasar), baiklah mari kita cermati ayat Allah dalam surat an-nisa’ ayat 60 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60)
Apakah kalian tidak memperhatikan tentang orang-orang yang mengaku-ngaku mereka telah beriman terhadap apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dan beriman kepada kitab-kitab sebelummu, mereka menginginkan untuk berhukum kepada Thoghut padalah mereka diperintahkan untuk mengkufuri thoghut itu. Dan syetan menginginkan untuk menyesatkan mereka kesesatan yang sangat jauh.
Thoghut adalah hokum selain hokum Allah, atau syeitan.
Maka, bila kita cermati pemikiran ulil ini sangat jauh daripemahaman yang benar karena sudah menyelisihi dari kitabullah (al-Quran) dan sunnah Nabawiyah.
Ayat ini seolah-olah menggambarkan bagaimana pemahaman mereka yang mengaku telah mengimanai ayat Allah padahal bila kita cermati dalam berbagai tulisan mereka malah melecehkan ajaran Allah yang telah diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad SAW.

JILBAB SEBUAH KEWAJIBAN

بســـــــم الله الرحمن الرحيــــــــم

Ditengah arus kehidupan global yang makin deras, kaum Muslimin sebagai salah satu komponen terbesar umat manusia di dunia ini, tidak bisa mengelak dan harus terkena dan merasakan pengaruh serta akibatnya yang secara perinsip banyak bertentangan dengan sistim dan moralitas islam, meskipun pada sisi yang lain banyak memberikan manfaat bagi kemajuan, namun karena kemajuan yang bersifat materil ini tidak didasari oleh Islam mengakibatkan ketimpangan dan kerusakan dalam bidang moril yang merupakan nilai termahal dalam kehidupan ini. Sebenarnya musibah yang melanda dunia islam saat ini berupa kemerosotan Aqidah, moral dan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang kebetulan akan tetapi merupakan mata rantai dari sejarah perjalanan umat islam dari abad –abad sebelumnya semenjak supermasi kaum muslmin berhasil di musnahkan oleh dunia Barat .
Pada akhir abad ke-18 atau permulaan abad ke-19 ketika bangsa Barat merasahaus untuk memperluas daerah kekuasaannya yang sudah lama terbendung oleh adanya kekuasaan khilafah islamiayah maka setelah barat berhasil menghilangkannya dari percaturan politik internasional mereka kemudian mempengaruhi negara -negara islam yang telah terpecah belah menjadi negara negara kecil,sebagai konsekwensinya hampir seluruh negara islam pada awal abad ke-19 dijajah oleh bangsa – bangsa Eropa yang ternyata pada kenyataannya Eropa membawa misi yang jauh lebih besar dan berbahaya dari sekedar penjajahan secara fisik akan tetapi juga menjajah pemikiran, moral dan keyakinan negeri – negeri Islam , sehingga amat sulit bagi negeri- negeri yang di jajah untuk kembali menemukan jati diri dan keperibadiannya secara utuh sebagaimana sebelumnya setelah mereka berhasil melepaskan diri dari cengkraman penjajah .
Kemudian kaum muslimin mulai bangkit mempelajari sebab–sebab kemunduran dan keterbalakangan yang manimpa, mengapa mereka bisa dijajah oleh bangsa – bangsa Eropa ? walaupun mereka belum dapat sepenuhnya keluar dari pemjajahan, keadaan ini mendorong mereka untuk mengadakan pembaharuan,akan tetapi kemudahan dan kenyamanan yang mereka peroleh selama berabad -abad lamanya ( masa pemerintahan islam ) membuat mereka memilih cara yang paling ringan resikonya dalam usaha pembaharuan ini dengan memutuskan untuk mengikuti jejak Barat dalam mengadakan perubahan, peradaban dalam kehidupannya dan mencoba mengembangkan kualitas dari suatu cermin yang dianggapnya memantulkan keindahan, taman penuh bunga tapi pada kenyataannya hampa tak bermakna. Etika cara berpakaian adalah merupakan salah satu bentuk budaya dan ciri suatu peradaban, ketika cara berpakaian dan kebiasaan bangsa Barat berlangsung dengan gencar umat islam lalu dengan bangga dan senang hati menirunya dengan segala daya dan upaya, dengan alasan akan membangun masyarakat muslim yang maju dengan pola tersebut, menelan dan menerima semuanya seolah-olah adalah merupakan wahyu ilahi yang wajib di taati dan di perjuangkan, sehingga ketika orang orang Barat menolak hijab, mengatakannya sebagai bentuk diskriminasi kepada kaum wanita mematikan dan mengekang produktifitas, bersamaan dengan itu mereka menyerukan emansipasi wanita sesuai dengan konsep mereka, lalu kaum musliminpun tanpa berfikir panjang menyambut seruan ini sehingga menjadikan mereka makin jauh dari nilai-nilai Islam .
Setelah umat Islam makin jauh mengukuti jejak langkah barat dalam berbagai segi kehidupan, dengan kehendak Allah mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak akan pernah berhasil dan maju dengan meninggalkan Al qur’an sebagaiamana ahlul kitab bisa maju dengan menjual ayat-ayat Allah dan membuang agama dari sistim kehidupan, mulailah nampak kesadaran kaum muslimah untuk kembali kepada Islam, menanggalkan busana setengah jadi dan menggantinya dengan pakaian jilbab. Namun syaithan dan para pengikutnya sangatlah pandai dan cerdik, merekapun menyusun setrategi baru. Kesadaran yang mulai tumbuh mereka masuki dengan memunculkan syubhat dalam bentuk yang lain, yaitu dengan membentuk persepsi bahwa pakaian jilbab adalah mode yang tidak mempunyai keretria dan setandar dalam Islam sehingga jilbab/ hijab tak lebih hanya sebagai perhiasan dan mode yang bisa dirubah sesuai dengan kehendak desainer dan keadaan zaman .
Disinilah pentingnya menanamkan kesadaran bahwa jilbab / hijab bukanlah pakaian mode, akan tetapi adalah pakaian syar’I yang diperintahkan oleh Dzat yang maha pengasih dan penyayang kepada hambanya sehingga haruslah memenuhi keretria yang di tetapkan oleh syari’at.

 KEWAJIBAN BERJILBAB

Tentang wajibnya seorang mslimah mengenakan jilbab sudah sangat jelas di jelaskan didalam al Qur’an maupun As Sunnah :
A. Dalil dari Al Qur an:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {59}

“ Hai Nabi perintahkanlah kepada istri-istrimu , anak –anak perempuanmu , dan istri-istri orang – orang mukmin “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka “yang demkian itu supaya mereka lebh mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu , dan Allah adalah maha pengapun lagi maha penyayang “
( Al Ahzab : 59 ) .
Kemudian dalam surat An Nuur ayat yang ke -30-31 Allah Ta’la berfirman :

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِى اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَآءِ وَلاَيَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {31}

“ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluannya , yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka , sesungghnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat . katakanlah kepada wanita – wanita beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya , dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya .Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya ,dan janganlah menampakkan perhiasannya ,kecuali kapada suami mereka atau ayah mreka , atau ayah suami mereka atau putra -putra suami mereka atau saudara-saudara mereka atau putra -purta saudara perempuan mereka atau wanita- wanita islam atau budak -budak yang mereka miliki atau pelayan- pelayan laki- laki yang tidak punya keinginan ( terhadap wanita ) atau anak- anak yang belum mengerti tentang aurat wanita .Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang merka sembunyikan . Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang -orang beriman supaya kamu beruntung. ( An Nuur : 30-31 ).
Dalam ayat ini dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan kepada para ummahatul muminin dan wanita-wanita yang beriman untuk memakai jilbab, dengan keretria serta tujuan dan maksud yang jelas.
B.Dalil dari As sunnah:
“Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad Rasulullah bersabda: “Dua macam penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya, kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi dan perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang menggoyangkan pundaknya dan berlenggak lenggok, kepala mereka seprti punuk onta yang miring.Mereka tidak Akan masuk jannah bahkan tidak akan dapat mencium baunya”.
Imam Al Qurtubi menerangkan tentang sifat golongan yang kedua dengan mengatakan” Mereka adalah wanita-wanita yang memakai pakaian tipis sehingga menampakkan warna kulit atau berpakaian dari pakaian perhiasan akan tetapi telanjang dari pakaian taqwa atau mereka berpakaian berupa nikmat nikmat Allah namun mereka telanjang dari mensyukurinya atau mereka berpakaian tapi telanjang dari berbuat baik atau menutupi sebagian badan mereka namun membuka sebagian yang lain”.



• BATAS AURAT YANG WAJIB DITUTUP

Para ulama’ berbeda pendapat tentang anggota badan yang wajib ditutupi oleh kaum wanita apakah seluruh tubuh ataukah ada pengecualian pada bagian- bagian tertentu?:

Pendapat pertama : yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuh kecuali mata untuk melihat.

Pendapat ini disandarkan pada beberapa dalil, antara lain:

Pertama: kata Jalabib dalam ayat ke-59 dari surat Al A’raf adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya jilbab yang berarti pakaian yang yang ukurannya lebih besar dari khimar dan menutupi seluruh tubuh.
(Al jami’ li ahkamil Qur an:14/243).
Ibnu Sirin berkata: saya bertanya kepada Abu Ubaidah As salmani tentang ayat “Yudniina alaihinna min jalaabibihinna” beliau mengatakan: “wanita-wanita kaum mukminin ketika ayat ini turun mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka dari atas kepala sampai tidak nampak kecuali mata untuk melihat jalan.
Ibnu Mas’ud dan Qotadah mengatakan: “Allah memerintahkan wanita-wanita beriman agar mereka menutup wajah mereka dari atas kepala dengan jilbab kecuali sebelah mata saja untuk melihat apabila mereka keluar rumah untuk suatu kebutuhan (Ad Dinul khalis:6/162).

Kedua: Mereka menafsirkan ayat ke-31 dalam surat An Nur yang berbunyi: “…Illa maa zhaharo minha…( …Kecuali yang nampak darinya…)” Ibnu Mas’ud QotadahAbu Ishaq, Ibnu Sirin, An Nakha’I dan Al Hasan, mengatakan:”maksudnya adalah pakaian yang dipakai oleh wanita”.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang boleh dinampakkan oleh wanita adalah pakaian yang melekat pada tubuhnya sedangkan wajah dan telapak tangan adalah termasuk aurat yang wajib ditutupi.

Ketiga: Demikian juga mereka menafsirkan ayat dalam surat al Ahzab 59 … “Yudniina” maksudnya adalah menutupi wajah.Al Wahidi mengatakan: “Para Mufassir mengatakan bahwa mereka menutup wajah dan kepala mereka kecuali hanya sebelah mata sehingga mereka bisa diketahui sebagai orang yang merdeka dengan demikian mereka tidak diganggu. Sedangakan Al Hasan mengatakan “mereka menutup setengah dari wajahnya”. (Fathul Qodir:4/380).
Sedangkan sebagian madzhab Hambali berpendapat bahwa semua Anggota badan wanita adalah aurat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam At Turmudzi “Al Mar atu aurotun”, akan tetapi di beri keringanan bagi mereka untuk membuka tutup muka dan tangannya ketika dalam keadaan darurat atau ketika dia dikhitbah”. (Al Mugni:2/328).
Keempat: Dalil dari As Sunnah:

لا تنتقب المرأة المحرمة ولا تلبس القفازين (رواه البخاري و احمد ).
“Janganlah wanita yang berihram itu mengenakan niqab, dan jangan juga memakai kaos tangan”. (HR.Bukhari dan Ahmad).
Syikhul Islam Ibnu Taimiyah menataikan: “Ini menunjukkan bahwqa cadar dan kaos tangan keduanya sudah dikenal dikalangan wanita yang berihram yang tidak sedang berihram dan ini berarti mereka menutup wajah dan kedua telapak tangan mereka”.
Dari Aisyah Radliyallahu’anha beliau berkata:

كان الركبان يمرون بنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم محرمات, فإذا حاذوا بنا أسدلت إحدا نا جلبابها من رأسها على وجهها, فإذا جاوزوانا كشفناه. (رواه أحمد).
“ Adalah para pengendara melewati kami sedangkan kami bersama Rasulullah Salallhu’alihiwasallamsedang berihram, maka jika mereka lewat disamping kami maka salah satu dari kami melabuhkan julbabnya dari kepalanya agar menutupi wajahnya, dan tatkala mereka telah berlalu kamipun membukanya kembali. (HR.Ahmad).
Hadits-hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa menutup wajah sudah dikenal semenjak zaman Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasallam dan istri-istri beliau mengenakannya. Selanjutnya kaum wanita yang utama sepeninggal mereka mencontoh mereka.
Dari Ashim Al Ahwal beliau berkata:
“Kami mengunjungi Hafshah Bin Sirin ( seorang wanita yang hidup pada masa tabi’in), sedangkan ia menjadiakn jilbabnya untuk bercadar, lalu Aku katakan kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, Allah telah berfirman:
والقواعد من النساء التتي لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن غير متبرجات بزينة
“Dan perempun-perempun tua yang telah berhenti dari haid yang tidak ingin menikah lagi tiada dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan”.
Lalu ia mengatkan kepada kami: “Apalagi sesudah itu ? Kami menjawab:
وأن يستعففن خير لهن
… dan berlaku Iffah adalah itu lebih baik bagi mereka”. (An Nur: 60).
Kemudian ia berkata: “Itu adalah penetepan hukum hijab”.

Kemudian syaikh Utsaimin dalam Majmu’urrosail mengemukakan beberapa alasan tentang wajibnya menutup wajah sebagai berikut:
1. Dalam surat An Nur-31 Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman laki-laki maupun perempuan untuk menjaga pandangan, berarti Allah juga memerintahkan untuk menjauhi dan menjaga hal-hal yang bisa menjadi wasilah untuk terjatuh kepada apa yang dialarang yaitu memandang kecantikan seorang wanita, kemudian dari memandang lalu timbul keinginan di dalam hati dan seterusnya.
2. Kalau menutup dada dan leher adalah wajib maka menutup muka tentu lebih wajib lagi karena melalui wajahlah seorang wanita dikatakan cantik atau tidak ,wajah merupakan sumber timbulnya fitnah.
3. Allah melarang memperlihatkan perhiasan secara mutlaq kecuali yang bisa nampak darinya yaitu sesusuatu yang memang tidak bisa disebunyikan sehingga dalam ayat berbunyi “kecuali yang biasa nampak darinya” tidak mengatakan “kecuali yang biasa dinampakkan oleh mereka”.
(Majmu’urrosail fil hijab wassufur:68).
Pendapat ini juga banyak bersandar pada riwayat-riwayat yang mengisyaratkan pada kesimpulan bahwa wajah adalah aurat yang wajib ditutupi.pendapat pertama ini banyak dipegangi oleh para ulama’ muta’akhirin semisal Syaik At Tuwairiji,Abul A’la Al Maududi, Syaikh Abdul Qadir AS Sindy,Syaikh Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Bazz dll.

Pendapat kedua: seluruh tubuh wajib ditutup kecuali wajah dan telapak tangan.

Diantara yang memegang pendapat ini adalah Ibnu ‘Abbas, Said Bin Jubair, Ad Dhahaq dan sahabat-sahabat yang lain, ibnu Jarir, Ibnu Kasir, Imam Abu Hanifah, Malik ,Asy Syafi’I serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad, pendapat ini diasarkan dalil dari al qur’an maupun As sunnah serta Atsar para shahabat.
1.Dalil dari Al Qura an:
Ketika menerangakan ayat 31 dari surat An Nur pada kalimat”Kecuali yang biasa nampak daripadanya” Ibnu Abbas menafsirkan bahwa perhiasan yang zhahir dalam ayat ini adalah wajah, telapak tangan, celak, dan cincin.Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan celak dan pipi. Sementara Atha’, Mujahid, Ibnu Jubair mengatakan perhiasan yang biasa nampak yang dimaksud adalah wajah, cat kuku dan cincin.Sedangkan Al Auza’I mengatakan yang dimaksud adalah telapak tangan dan wajah. (Tafsir Jaami’ul bayan:18/94-95).
Setelah menyebutkan pendapat pendapat para ulama’ Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan”yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan “dengan demikian hal itu juga meliputi gelang,celak dan cincin, cat kuku.Saya mengatakan pendapat tersebut paling mendekati penafsiran yang benar karena telah menjadi kesepakatan bahwa orang yang melaksanakan shalat wajib untuk menutup auratnya dan kepada kaum Wanita diperintahkan untuk membuka pentup wajahnya dan kaos tangannya, dengan menutup seluruh anggota selain keduanya, … jika hal itu merupakan ijma’ yang disepakati oleh mereka maka sudah maklum bahwa dipebolehkan membuka bagian tubuh yang bukan merupakan aurat sebagaiman halnya kaum pria,sebab bagian tubuh yang tidak termasuk aurat tidak haram untuk ditampakkan, sehingga bisa difahami bahwa yang dikecualikan dalam ayat tersebut adalah wajah dan telapak tangan.
(Tafsir At Thabari).
Kalu saja wajah dan telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutupi tentunya tidak dibenarkan untuk membukanya ketika akan melaksanakan shalat karena membuka aurat dalam shalat menyebabkab shalat menjadi batal.
Ibnu ‘Athiyah berkata: berdasarkan lafal ayat tersebut (An Nur :31) saya memahami bahwa kaum wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan serta bersungguh sungguh menyembunyikan setiap segala sesuatu yang merupakan perhiasan baginya, adapun pengecualian tersebut berkenaan dengan perhiasan yang biasa nampak darinya dengan alasan darurat untuk melakuakan gerakan yang tidak mungkin dihindarakan untuk memenuhi kebutuhan dan sebagainya jadi yang biasa nampak disisni adalah yang dituntut oleh kebutuhan yang mendesak itulah yang dima’afkan. (Fathul Qodir:4/380).
Kemudian Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya mentakan: “Ibnu Abbas dan orang-orang yang sepakat dengannya membawa pengecualian ayat dalam ayat ini kepada wajah dan telapak tangan dan inilah yang masyhur di kalangan jumhur.
(Tafsir Al Qur an Al Azhim:3/266-267).

Kemudian dalil yang merujuk pada Ayat ke -59 surat Al Ahzab pada ayat yang berbunyi “ Yudniina min jalaabibihinna” secara bahasa yudni bermakna mendekatkan,sebagaimana yang dikatakan oleh Ar Rogib di dalam Al Mufrodat “Daanaitu baina Al Amraini” artinya saya mendekatkan sesuatu dari dua hal kepada hal yang lainnya kemudian beliau menyebutkan ayat tersebut lalu menyebutkan perkataan Ibnu Abbas” Wanita mendekatkan jilbabnya dan tidak menutup mukanya”. (Jilbab wanita Muslimah:……)
Dalam Al Mamu’ Imam Nawawi dikatakan demikianlah pendapat Imam Malik, Syafi’I, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad.(Al Majmu’:2/171).
Sementara Imam Al Qurtubi dalam Tafsirnya mengatakan: “Hukum yang nampak dari lafazh ayat ini menurut pendapat saya adalah hendaknya seorang wanita bersungguh-sungguh untuk tidak menampakkan perhiasannya, adapun pengecualian itu berlaku pada saat darurat yang memang memerlukan gerakan yang di butuhkan,
( Tafsir Al Jami’ li Ahkamil Qur an: 12/228-229).
Perbedaan pendapat ini juga di sebabkabkan perbedaan para ulama’ dalam menggolongkan mana yang termasuk perhiasan zhahir dan perhiasan yang harus di sembunyikan.Para ulama’ membagi perhiasan menjadi dua, perhiasan khalqiyah dan perhiasan muktasabah, sebagian yang lain menyebutnya dengan perhiasan zhahir dan perhiasan tersembunyi, perhiasan zhahir adalah perhiasan yang boleh dinampakkan kepada semua manusia baik mahram maupun bukan mahram, sedangkan perhiasan yang tersembunyi adalah perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali kepada golongan yang telah disebutkan dalam surat An Nur-31. Sedangkan perhiasan muktasabah adalah perhiasan yang dikenakan oleh kaum wanita untuk menghiasi dirinya, seperti pakaian, celak dll.
Dalam permasahan gelang misalnya, ‘Aisyah Radliyallahu’anha memasukkannya kedalam jenis perhiasan zhahir karena ada ditangan, sedangkan Mujahid memasukkannya kedalam jenis perhiasan yang harus disembunyikan karena berada di bagian lengan. (Qurtuby:12/229-230).
Akan tetapi jika tidak menutup wajah dimaksudkan untuk memperlihatkan kecantikan maka hukumnya sebagaimana hukum menampakkan perhiasan yang sesmestinya tidak di perbolehkan untuk ditampakkan.

2. Dalil dari As Sunnah:
Terdapat banyak hadits maupun atsar dari para shahabat yang menerangkan tentang dibolehkannya membuka wajah bagi wanita, namun disini kami sebutkan sebagian kecil saja;

a. Hadits Jabir bin Abdillah
Jabir bin Abdilah berkata : Aku pernah menghadiri sholat ied bersama Rasulullah lalau beliau mengawali sholat ied sebelum berkhotbah tanpa di dahului adzan maupun iqomah, selanjutnya beliau berdiri bersabndar kapada bilal. Beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan taat kepadanya, memebrikan nasihat kapada manusia serta mengingatkan mereka, beliau terus berlalu sampai akhirnya tiba dihadapan kaum wanita, lalu beliaupun memberi nasehat dan mengingatkan mereka. Disitu beliau bersabda : “Bersedekahlah karena kebanyakan dari kalian adaklah kayu bakar nereka jahanam, lantas salah seorang perempuan yang duduk ditengah-tengah kaum wanita itu yang kedua pipinya kehitam-hitaman bertanya : mengapa ya rasulullah ? Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami”. Jabir bin Abdillah menceritakan lagi : Kemudian wanita-wanita itupun bersedekah dan mengambil sebagian dari perhiasan mereka yang mereka taruh dikain bilal, yaitu berupa anting-anting dan cincin.
a. hadits Aisyah
Asyiah radiyallahu anha berkata :

كنا نساء المؤمنات يشهدنا مع النبى صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر متلفعات بمروطهن ثم ينقلبن حين يفضين الصلاة لا يعرفن من الغلس

“Kami wanita-wanita mukminat menghadiri sholat fajar bersama rasulullah solallahu ‘alaihi wasalam dengan menggunakan kain yang tak berjahit, kemudian para wanita itu kembali kerumah-rumah mereka seusai menunaikan sholat tanpa dapat mengenal satu sama lain lantaran masih gelap.
( HR. Al Bukhori dan Muslim )
Wajhul istidlal dari perkataan “tidak dapat mengenal satu sama lain lantaran gelap” mafhumnya adalah seandainya tidak karena gelap tentunya mereka dapat saling mengenal, sedangkan lazimnya pengenalan itu adalah melalui wajah-wajah mereka yang terbuka. Seperti inilah yang dituturkan oleh Asy Syaukani dari al Baji. Kemudian dalam lafadz yang lain ‘Aisyah berkata : وما يعرف بعضنا وجوها بعض “sedangkan sebagaian dari kami tidak dapat mengenal wajah sebagian yang lain (lantaran gelap).
( HR. Abu Ya’la dengan sanad yang sohih )
b. hadits Fatimah binti Qois
Ia menceritakan bahwa suaminya Amru bin Hafsh mentalaqnya secara battah sedangkan dia tidak ada ditempat lalu Fatimah binti Qois datang menghadap Rasulullah untuk menceritakan kejadian yang dialaminya, selanjutnya Rasulullah menyuruhnya untuk ber’iddah di rumah Ummu Syuraiq kemudian Beliau berkata :

تلك امرأة يغشاها أصحابى إعتدى عند ابن أم مكتوم فإنه رجل أعمى تضعين ثيبك عنده

“ Perempuan itu tidak terlihat oleh para sahabatkku, kalau demikian ber’iddahlah kamu dirumah Ibnu Umi maktum saja, karena sesungguhnya ia seorang laki-laki yang buta dimana kamu dapat melepas pakaianmu ( khimarmu) ditempat tinggalnya”. Dalam riwayat yang lain disebutkan “…dan jika kamu menanggalkan khimarmu ia tidak dapat melihatmu.” ( HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang mengandung maksud dan makna yang sama.Al Albany mengetengahkan tidak kurang dari tigabelas hadits yang menguatkan pendapat bahwa wajah boleh dibuka dan tidak wajib ditutup.

4 .Atsar dari para salaf
Atsar yang mereka sebutkan disini hanyalah sebagai penguat dam syahid atas dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.
• Dari Abu As Salil bahwa ia berkata:
“Putri Abu Dzar datang menggunakan baju pelindung yang terbuat dari bulu, Dia adalah seorang Wanita yang pipinya hitam kemerah-mereahan dia datang membawa keranjang miliknya lalu Ia berdiri di depan ayahnya sedangkan di sisi Abu dzar terdapat beberapa shahabatnya.Putri Abu Dzar itu berkata Wahai bapakku para pembajak tanah dan para peladang menganggap bahwa uang Ayahanda ini adalah tiruan” Biarlah wahai putriku karena sesunggunya Ayahmu ini tidak memiliki uang emas maupun perak kecuali uang ini. (Isnadnya jayyid).
• dari Manimun Bin Mahran bahwa ia berkata:
“Aku pernah mengunjungi Ummu darda’ maka Aku lihat dia berkhimar dengan khimar yang tebal yang diurai diatas alisnya.( Isnadnya shahih ).
Setelah mengemukakan masing-masing pendapat dengan hujjah masing-masing syaikh Al Albani kemudian berkata: Berdasarkan apa yang kami kemukakan didepan dapatlah diambil kesimpulan bahwa masalah menutup wajah bagi wanita denga cadar yang juga kita kenal sekarang ini dikenakan kaum wanita yang terjaga adalah masyru’ (disyari’atkan) (sebagaimana yang dilakukan oleh para Ummahatu Mukminin dan dicontohi oleh para mukminah yang lainnya) dan terpuji dan lebih utama meskipun hal tersebut tidak wajib baginya, yang mengenakannya berarti ia telah melakukan kebaikan dan yang tidak melakukannyapun tidak berdosa, namun ini bukan berarti orang yang berpandapat demikian harus membuka wajah istrinya (menyuruh istrinya melepaskan cadar-red) karena hal semacam itu(menampakkan wajah) hanya perbuatan yang diperbolehkan saja .Dan beliau juga membantah orang-orang yang beranggapan bahwa menutup wajah adalah perbuatan bid’ah atau perbuatan berlebih-lebihan dalam agama karena menutup wajah yang sekarang lebi dikenal dengan niqab (cadar) sudah dikenal sejak zaman para sahabat dan dipakai oleh wanita-wanita utama yaitu istri-istri Raulullah dan diikuti oleh Shahabiyah dan orang-orang setelah mereka sampai hari ini .






* SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
Karena pakaian musliamah adalah pakaian syar’I maka keretria dan syaratnya juga harus masyru’ sebagaimana yang disebutkan oleh syari’at. Syarat- syarat tersebut antara lain:
1. menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan dengan perbedaan pendapat antara para ulama’ sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
2. Bukaan berfungsi sebagai perhiasan
Ini berdasarkan firman Allah dalam surat An Nur ayat:31:
“Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhia dan mereka”.
Secara umum ayat ini mengandung pengertian semua pakaian yang bisa dihiasi dengan sesuatu yang apabila dipakai akan menarik perhatian kaum laki-laki. Kemudian hal ini diperkuat oleh firman Allah:
“ Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama”.
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena dapat menimbulkan fitnah bagi laki-laki dan wanita itu sendiri.

3. Tebal tidak tipis/tembus pandang
Karena salah satu tujuan dari memakai jilbab adalah untuk menutupi seluruh tubuh maka tidak dikatakan tertutup apabila masih bisa terlihat karena tipisnya pakaian yang dikenakan. Dalam hal ini Rasulullah Salallahu’alaihiwasallam bersabda:

سيكون في أخر أمتي نساء كاسيات عاريات على رؤوسهن كأسنمة البخت إلعنوهن فإنهن ملعونة

“Akan ada pada akhir uamatku nanti wanita-wanita yang bepakaian namun pada hakekatnya telanjang, diatas kepala mereka terdapat sesuatu sepeti punuk unta. Kutuklah mereka karena mereka adalah kaum wanita yang terlaknat”
.(HR.At Thabrani).
4. Longgar tidak ketat sehingga tidak nampak bentuk dan lekuk tubuh
5. Tidak diberi wewangian atau farfum
6. tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
8. Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Mengenai syarat jilbab muslimah baca selengkapnya dalam buku “jilbab Al mar’ ah Al Muslimah” Oleh Syaikh Al AlBany.Waalhua’lam bisshawab.



KESIMPULAN :
1. Jilbab adalah wajib hukumnya sebagaimana wajibnya kewajiban-kewajiban yang lain
2. Jilbab adalah pakaian Syar’I maka harus memenuhi tuntutan syar’I pula dengan keretria dan persyaratan yang telah ditentukan.
3. Kewajiban menjaga pandangan baik bagi laki-laki maupun perempuan
4. Terjadi perbedaan pendapat diantara para Ulama’ tentang wajibnya menutup wajah:
a. Wajib ditutup
b. Tidak wajib akan tetapi merupakan keutamaan bagi seorang Muslimah jika memakai tutup wajah (Niq
Refrensi:
1. Al Qur an Al Karim
2. Tafsir Jaami’ul bayan – Imam At Tahabary
4. Tafsir Al Qur an Al ‘Azhim - Ibnu Katsir
5. Tafsir Al Jami’ li ahkamil Qur an – Imam Al Qurtubi
6. Tafsir fathul Qodir – Imam Asy Syaukany
7. Ar Rosail Fil hijab Wassufur
8. Jilbab wanita Muslimah- Syaikh Al Albany
9. Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtasshu Bil Mukminat – DR.Shalih bin Fauzan Al Fauzan
10. Ad Dinul khalis
11. Majmu’ syarhul muhadzzab – Al Imam An Nawawi
12. Al Mugni – Ibnu Qudamah Al Maqdisy
13. Al Hijab – Abul A’la Al maududi








































* BEBERAPA SYUBHAT SEKITAR MASALAH JILBAB
Dalam masalah jilbab ada beberpa perasalahan yang sering menjadi penghalang ataupun alasan bagi seorang muslimah untuk tidak memakai jilbab bahkan yang sudah mengenakan sekalipun banyak tidak jarang terkena syubhat yang tidak diragukan lagi bahwa seluruhnya sengaja dimunculkan oleh orang-orang yang tidak menginginkan kebaikan dan ingin menghancurkan moral umat islam terutama kaum wanita khususya.
Pertama:Iman cukup didalam hati
Tidak jarang atau bahkan banyak diantara kaum muslimin memahamai bahwa mengimani sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan rasulNya cukup dengan meyakini hal itu sebagai sebuah perintah tanpa ada kewajiban untuk mengamalkannya, keyakianan semacam ini jelas menyelisihi apa yang diyakini oleh Ahlu sunnah wal jama’ah bahwa iman adalah keyakinan dalam hati pengikraran dengan lisan kemudiaan dilaksanakan dengan anggota badan ketiga hal ini(keyakian hati, ucapan lisan dan amal jawarih) tidak bisa dipisah satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan dari definisi iman itu sendiri.Orang yang memisahkan antara keyakinan dan amalan dalam mendefinisikan iman berarti telah terjerumus kedalam perbuatan bid’ah sebagaiamana yang dilakukan oleh orang-orang murji’ah yang berkeyakinan bahwa amal bukan merupakan bagian dari iman atau dengan kata lain amalan tidak mempengaruhi keimanan seseorang.
Mengimani suatu kewajiban hanya dengan hati saja tidak akan mampu meyelamatkan pemiliknya dari neraka dan mendapatkan jannah.Orang yang yang mengatakan keimanannya dengan lidahnya tetapi tidak disertai dengan keikhlasan hatinya adalah orang-orang munafiq sehingga amalan-amalan yang dikerjakannya tidak lebih dari hanya sekedar gerakan anggota tubuh tanpa ruh yaitu ikhlash,balasan bagi orang-orang seperti ini adalah berada dilapisan neraka yang paling bawah ( An Nisa':145).Dan sebaliknya orang-orang yang beriman hanya dengan hatinya tanpa disertai dengan amalan anggota tubuh adalah sama seperti keadaan iblis, karena iblis percaya dan yakin kepada kakuasaan Allah untuk menghidupkan dan mematikan sehingga dia meminta kematiannya ditangguhkan, dia juga percaya dengan hari kiamat akan tetapi amalannya menyesilihi apa yang diyakini didalam hatinya sehingga Allah memponisnya sebaagai orang kafir dan mengancamnya denga adzab neraka ( Al Baqarah:34), demikian juga halnya dengan perintah untuk memakai jilbab seorang muslimah tidak dikatakan mengimani ayat Allah yang memerintahkan untuk berjilbab sebelum ia melaksanakannya secara nyata sebagaiamana sorang siswa yang mendapat pekerjaan rumah dari seorang gurunya tidak dikatakan melaksanakan kewajiban dan terlepas dari hukuman apabila dia hanya meyakini tugas itu dengan hati tetapi tidak melaksanakannya.
Kedua: Allah belum memberi hidayah
Ketika seorang muslimah dihadapkan dengan suatu pertanyaan “mengapa anda belum memaki jilbab? Dengan ringan dia akan menjawab sebenarnya saya ingin sekali mengenakan jilbab akan tetapi apa hendak dikata Allah belum memberiku hidayah”.Didalam Al Qur’an Allah telah menerangkan hidayah ada dua macam:
Pertama: hidayah dilalah yaitu bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, hidayah ini juga disebut dengan hidayatul irsyad yaitu Allah dan rasulnya telah menerangkan dan menunjukkan kepada manusia tentang kebenaran dan kebatilan dan menunjukkan jalan yang menuju kearahnya,dalah hal ini manusia diberi kemampuan untuk berikhtiar (memilih) dengan konskwensi masing- masing.
Kedua: Hidayah taufiq yaitu hidayah yang hanya khusus bagi Allah ta’ala Hidaayah ini adalah berupa penetapan dan pemeliharaan kebenran didalam hati seseorang, menjaganya dari berbagai penyimpangan, petolongan agar tetap meniti jalan kebenaran, kecintaan kepada iman, kebencian terhadap kekufuran dan kedurhakaan yang diberikan kepada orang- orang yang memenuhi seruan Allah dan mengiuti petunjukaNya.
Dalam permasalahna ini mestinya sorang musliah harus beruasaha untuk mencari sebab-sebab yang bisa mendatang hidayah karena idak mungkin seorag hamba akan mendapatkan hidayah tanpa mau bersaha untuk mendapatakannya sebagaiamana seorang yang mengharapakan mendapatakan rizki mustahil akan mendapatkannya tanpa melalui usaha dengan melakukan hal-hal yang bisa mendukungnya mendapatakan rizki tersebut.
Diantara hal- hal yang bisa mendatangkan hidayah adalah dengan cara menjauhi perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh Alah karena tidak mungkin seseorang akan mendapatkan petunjuk sedangkan ia senatiasa tenggelam dalam perbuatan yang mendatangkan kemurkaan Allah subanahuwata’ala, melakukan amalan yang bisa menambah kedekatan kepada Allah,pandai memilih teman bergaul, selalu membaca dan mempelajari kitab Allah (Al Qur’an), mengikuti majlis-majlis dzikir dan nasihat diniyyah, banyak membaca buku-buku yang bisa menambah keiamanan dan lain sebagainya.

Sebaik-baik Orang Adalah Yang Banyak Amal Sholehnya Lagi Bertaqwa

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. At-Taubah 71

Ucapkan Bismillah

web Islami

Urwah al-Wutsqo

Urwah al-Wutsqo
Tali Allah yang harus ditinggikan dimuka bumi serta menjadikan kalimat orang kafir menjadi rendah.